Oleh: Dr Aloys Budi Purnomo Pr, ketua Komisi Keadilan, Perdamaian,dan Keutuhan Ciptaan Kevikepan Semarang, pengajar Program Doktor Ilmu Lingkungan Unika Seogijapranata
KOTA Semarang pada khususnya, Indonesia dan bahkan dunia pada umumnya, dikejutkan oleh tragika kematian sosok pegawai negeri sipil (PNS), Paulus Iwan Boedi Prasetijo. Kematiannya terbilang sangat tragis dan mengenaskan, membuat siapa punyang masih berhati nurani merasa miris, sedih, dan marah.
Bagaimana mungkin seorang manusia diperlakukan secara sadis dan bengis? Paulus Iwan dibunuh dengan cara dibakar dan dimutilasi. Kepalanya dipenggal. Termasuk anggota tubuh lainnya yang terpotong dari tempat yang seharusnya. Sebuah kengerian tergambar dalam cara kematiannya. Perlakuan yang bengis dan sadis itu menggambarkan motif yang secara moral tak bisa dibenarkan.
Dalam perspektif keimanan Kristiani, tak berlebihan bila kematian Iwan disebut sebagai sebuah kemartiran! Sosok martir adalah sosok yang menanggung penganiayaan hingga kematiannya yang tetap mempertahankan prinsip kebenaran, keadilan, kedamaian, dan kesejahteraan bagi semua orang. Martir mati karena menghayati kebaikan berdasarkan imannya.
Dengan rasa duka yang mendalam dan keprihatinan yang pedih, saya bersyukur boleh belajar tentang kemartiran dari kematianPaulus Iwan Boedi Prasetijo saat menyambut jenazahnya di Ruang Jenazah Rumah Sakit Elisabeth Semarang pada 21 September2022 lalu. Bersama istri tercinta dan keempat putri-putranya, saya mempersembahkan doa dalam ibadah pemberkatan jenazahnya.
Dalam sejarah keimanan Kristiani, terdapat sejumlah sosok pribadi istimewa yang mati dalam kemartiran. Yohanes Pembaptis mati dipenggal kepalanya oleh Herodes. Yesus sendiri mati dengan cara terkeji melalui penyiksaan dan penyaliban-Nya. Polikarpus dari Smirna menjadi martir pada abad pertama Masehi ditikam jantungnya sesudah upaya membakarnya hidup-hidup gagal. Santo Laurensius dipanggang hidup-hidup karena membela kaum kecil, lemah, dan miskin. Santa Felisitas menjadi martir bersama ketujuh putranya. Santa Caesilia dibakar hidup-hidup dan dipenggal kepalanya. Itulah kemartiran dalam tradisi Kristiani!
Kematian yang dialami Paulus Iwan Boedi Prasetijo serupa dengan kematian para martir atas nama keadilan dan damba perdamaian. Tak terbantahkan, betapa kehidupan manusia mendambakan perdamaian. Damba akan perdamaian menjadi damba masyarakat. Dalam spirit perdamaian, masyarakat menjadi tempat persaudaraan, keadilan, perdamaian, dan martabat untuk semua manusia. Sayangnya, damba akan perdamaian tersebut ternoda oleh aksi kekerasan yang keji seperti tampak terjadi dan dialami oleh Paulus Iwan Boedi Prasetijo. Bagi saya, peristiwa yang menimpa Iwan dapat direfleksikan dalam konteks perjuangan yang telah menjadi korban dalam menemukan solusi atas masalah-masalah yang terkait dengan perdamaian, keselarasan sosial, pertanahan, pembelaan hidup, hak-hak manusia dan sipil.
Peristiwa Iwan menantang semua pihak untuk mendengarkan jeritan kemanusiaan yang paling miskin dengan prinsip bahwa perdamaian dilandaskan pada penghormatan terhadap hak asasi manusia. Dalam konteks ini, perdamaian dalam masyarakat tak dapat dipahami sebagai hal yang menenangkan atau hanya tidak adanya kekerasan akibat dominasi salah satu bagian dari masyarakat terhadap yang lain. Perdamaian sejati juga tidak berlaku sebagai dalih untuk membenarkan struktursosial yang membungkam orang-orang jujur mengungkap kebenaran.
Dalam kematiannya dengan cara yang heroik, Iwan telah menggemakan seruan profetik ditengah nilai-nilai kejujuran yang dicampakkan. Bahkan, kematiannya juga meneriakkan suara kenabian atas kemanusiaan yang harus dibela, dilindungi, dan dijaga dalam situasi apapun. Itulah sebabnya, kematiannya menjadi sebentuk kemartiran sosio-politik berhadapan dengan kekuasaan yang korup dan kecenderungan koruptif. Kasus korupsi menjadi latar belakang kematiannya,bukan karena dia yang melakukannya, namun, karena ia menjadi saksi kunci korupsi yang terjadi.
Perdamaian dalam arus kekuasaan yang korup tidak semata-mata berarti tidak adanya perang. Damai diwujudkan melalui usaha-usaha yang disertai perwujudan keadilan yang lebih sempurna antar manusia. Perdamaian berhadapan dengan benih konflik-konflik baru dan berbagai bentuk kekerasan sebagaimana dialami Iwan atas peristiwa yang dihadapinya hingga titik darah penghabisan sebagai martir keadilan.
Ragi Kemartiran
Secara etisteologis, kematian Paulus Iwan Boedi Prasetijo menjadi ragi bagi perdamaian, keadilan, dan kemanusiaan. Dalam konteks negeri ini, ia menjadi ragi bagi kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial bagi masyarakat Indonesia yang digerus oleh parah dan menjamaahnya korupsi di berbagai sektornya. Iwan telah menginspirasi siapa saja yang mengemban tugas melayani keadilan dan perdamaian, yang seharusnya menjadi ukuran dasar bagi semua tindakan untuk kemanusiaan dengan keberanian dan kemartirannya.
Sesungguhnya, spirit yang sama telah mengilhami semua orang untuk berbagi aneka bentuk kebijaksanaan praktis yang membantu orang untuk menanggung penderitaan dan hidup dalam perdamaian dan harmoni yang lebih besar. Laksana ragi semangat itu mengembangkan dan menumbuhkan kepekaan berbela rasa. Alih-alih menumbuhkan kebencian, kemartiran untuk perdamaian justru mengembangkan semangat toleransi, kerukunan, dan persaudaraan.
Kemanusiaan akan menjadi lebih buruk untuk setiap pilihan egois yang dibuat atas nama kekuasaan yang korup. Namun demikian, kendati kebanyakan orang zaman ini sedang menapaki hidup yang berat dari hari ke hari, bahkan dengan kondisi-kondisi yang sangat buruk. Tak dapat dimungkiri bahwa peristiwa Iwan membuat hati kita dicekam rasa takut, resah, bahkan putus asa. Namun, ragi kemartirannya takakan pernah bisa dihentikan oleh siapa pun.
#Suara Merdeka 26 September 2022 hal. 4