Oleh: Aloys Budi Purnomo Pr, Doktor Ilmu Lingkungan Unika Soegijapranata
ALHAMDULILLAH! Syukur kepada Allah! Mengenang dan mensyukuri hari kelahiran adalah sebentuk momentum kehidupan yang dialami setiap insan. Seorang budayawan yang pernah mengajar mata kuliah Strategi Kebudayaan, saat saya masih mahasiswa strata satu, Dick Hartoko SJ, bahkan mengenang dan mensyukuri tiap hari ulang tahun kelahirannya dengan pesan kerendahan hati. Pesan itu diungkapkan melalui kalimat yang bagi kebanyakan orang terbilang aneh dan menakutkan. Beliau selalu mengatakan dengan tenang, “Selangkah lagi menuju liang kubur!” sebagai jawaban atas ucapan selamat hari ulang tahun kepadanya.
Dalam ungkapan tersebut termuat pesan kerendahan hati. Setiap insan lahir, hidup, dan mati. Bertambah usia adalah indikasi bertambah renta, dan dengan demikian harus selalu siap menyambut maut! Seorang mistikus Katolik yang dikenal sebagai pelindung Bumi dan semua orang yang belajar ekologi serta berkomitmen merawat Bumi, St. Fransiskus Assisi, bahkan menyebut maut sebagai seorang “Saudari” yang setiap saat selalu siap untuk disambut.
Rahasia tanah
Kehidupan manusia tak bisa dilepaskan dari rahasia tanah. Kehidupan dan kematian manusia tak terpisahkan dari tanah. Abrahamic religions merefleksikan keberadaan manusia pertama, Nabi Adam, diciptakan Allah dari tanah, yang dihembusi roh kehidupan, kun fa yakun, jadilah manusia pertama, leluhur semua umat manusia, seturut kehendak-Nya!
Dari situlah, dalam tradisi Abrahamic religions juga diimani, bahwa manusia berasal dari tanah dan akan kembali menjadi tanah melalui peristiwa kematiannya. Tanah menjadi bagian esensial kehidupan dan kematian manusia. Tanah tak terpisahkan dari air dan Bumi. Tanah, air, dan Bumi menjadi sumber kehidupan manusia. Kearifan lokal Nusantara menyembut tanah, air, dan terutama Bumi sebagai Ibu Pertiwi. Inilah kearifan sekaligus kecerdasan Nusantara yang menerjemahkan Earth, sebagai Ibu Pertiwi.
Dengan perspektif itu, tanah, air, dan Bumi tak sekadar dipandang sebagai materi semata melainkan sebagai entitas yang memiliki daya dan energi kehidupan. Itulah sebabnya, mistikus St. Fransiskus Assisi di abad ke-12 berseru dalam nyanyian doa dengan bahasa Italia, yang bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berbunyi, “Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena Saudari kami, Ibu Pertiwi, yang memelihara dan mengasuh kami, dan menumbuhkan aneka ragam buah-buahan, beserta bunga warna-warni dan rumput-rumputan” (sebagaimana dikutip Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si’, 2015, LS 1).
Tak mengherankan, komunitas Sedulur Sikep di Kudus, Pati, Rembang, dan Blora yang berkomitmen menjaga dan merawat Bumi dari hasrat eksploitatif melantunkan tembang dengan syair: “Ibu Bumi wis maringi, Ibu Bumi dilarani, Ibu Bumi kang ngadili!” Ibu Pertiwi sudah memberi. Ibu Pertiwi disakiti. Ibu Pertiwilah yang akan mengadili.
Dalam nyanyian mistikus St. Fransiskus Assisi dan tembang perjuangan Sedulur Sikep merawat Bumi kian ditegaskan rahasia tanah. Tanah yang bersama air sebagai bagian Bumi seharusnya dirawat dan dilindungi, bukan dirusak dan dieksploitasi atas nama ekonomi.
Syahwat eksploitatif
Sayangnya, manusia terbelenggu syahwat eksploitatif Paus Fransiskus mengingatkan kita agar tidak dikuasai syahwat eksploitatif, “Kita berpikir bahwa kita adalah tuan dan penguasanya yang berhak untuk menjarahnya. Kekerasan yang ada dalam hati kita yang terluka oleh dosa, tercermin dalam gejala-gejala penyakit yang kita lihat pada tanah, di dalam air, di udara dan pada semua bentuk kehidupan. Oleh karena itu, bumi terbebani dan hancur, termasuk kaum miskin yang paling kita abaikan dan lecehkan. Kita telah melupakan bahwa kita sendiri berasal dari debu tanah (Kejadian 2: 7); tubuh kita sendiri tersusun dari unsur-unsur yang sama dari bumi, dan udaranya memberi kita nafas serta airnya menghidupkan dan menyegarkan kita” (LS 2).
Untuk melawan syahwat eksploitatif dibutuhkan kerendahan hati. Kerendahan hati erat terkait dengan realitas tanah, air, dan Bumi. Kata kerendahan hati dalam bahasa Inggris disebut humility. Kata humility erat terkait dengan kata dalam bahasa Latin, kata humus dan humanus. Sama seperti dalam bahasa Indonesia, humus adalah lapisan tanah subur. Setiap benih baik yang ditaburkan padanya bertumbuh, berkembang, berbunga, dan berbuah.
Secara rohani, humus, sebagai kerendahan hati menjadi keutamaan bagi manusia. Dengan keutamaan tersebut, humanus – manusia – di-berkati sifat kesabaran, daya tahan, kebahagiaan, dan produktivitas karya kebaikan dan cinta kasih. Bahkan, dari keutamaan itu lahir pula batas kasih dan kerahiman kepada sesama dan alam semesta.
Itulah sebabnya, ketika manusia kehilangan kerendahan hati, dirinya dikuasai kerakusan, ketamakan, keculasan, kebohongan, dan syahwat kekuasaan yang berwajah eksploitatif terhadap Bumi dan seisinya. Persis di situlah, akar segala dosa membuat manusia menjadi destruktif, eksploitatif, dan koruptif.
Eksploitasi berlawanan dengan kerendahan hati. Sikap eksploitatif tak hanya terarah pada alam semesta, melainkan juga terhadap sesama manusia. Sangatlah berbahaya bila sikap eksploitatif itu telah merasuki pemimpin yang arogan. Kian parah saat pemimpin eksploitatif menjadi penguasa dan berkelindan dengan pengusaha. Orientasinya adalah keuntungan sesaat seraya mengabaikan dan melecehkan kaum miskin dan rentan. (*)
#Tribun Jateng 11 Februari 2022 hal. 2