Oleh: Aloys Budi Purnomo Pr, Pengajar Program Doktor Ilmu Lingkungan Unika Soegijapranata
SATU di antara tantangan zaman kita saat ini adalah maraknya budaya relativisme yang merupakan penyakit sosial yang mendorong orang untuk mengeksploitasi sesama dan alam semesta dengan memperlakukannya sebagai objek semata.
Budaya relativisme menandai zaman kita saat manusia menempatkan dirinya sebagai pusat dengan memberikan prioritas tertinggi kepada kepentingan sesaat. Karenanya, semua yang lain menjadi relatif.
Budaya ini merupakan dampak dari paradigma teknokratis antroposentris yang ditandai oleh dominasi dan pemujaan kekuasaan manusia yang absolut. Dominasi itu melahirkan relativisme. Ia memandang segala hal tidak relevan jika tidak menguntungkan dirinya.
Hal ini menyebabkan kemerosotan sosial dan kehancuran lingkungan. Dalam situasi tersebut, dibutuhkan pribadi-pribadi yang memiliki kerelaan dan komitmen untuk melayani sesama dan merawat semesta yang kian hari kian (di)hancur(kan)!
Udan Salah Mangsa
Orang cenderung memandang wajar ketika di bulan Juni bahkan Juli masih turun hujan. Padahal fakta ini tidak sesuai dengan musim kenormalan semesta yang sudah turun-temurun terjadi. Secara normal, kita sejak zaman leluhur sudah dipahami bahwa negeri ini merupakan negeri dengan karunia dua musim, yakni penghujan dan kemarau.
Dari generasi ke generasi dalam kenormalan, sebagai negara beriklim tropis, musim hujan biasanya dimulai di awal November hingga Maret. Semenetara pada rentang April hingga Oktober merupakan musim kemarau. Namun, sekarang ini, kita mengalami terjadinya “udan salah mangsa” (hujan di musim yang salah). Itulah sebabnya, sesudah bulan April pun, hujan masih melanda. Bahkan, beberapa daerah di Jawa Tengah mengalami banjir di bulan Mei. Di sepanjang Juni, hujan masih sering terjadi hingga di awal Juli.
Mengapa semua ini terjadi? Jawabannya jelas, inilah salah satu dampak dari krisis ekologi yang menimpa Bumi, rumah bersama. Krisis ekologi ditandai oleh pemanasan global, perubahan iklim, mencairnya es di kutub, dan kenaikan permukaan air laut.
Pemanasan global yang menimpa Bumi memiliki efek pada siklus karbon. Pemanasan global menghadirkan “lingkaran setan karena akan berdampak pada ketersediaan sumber-sumber daya penting seperti air minum, energi dan hasil pertanian di daerah yang beriklim lebih panas, bahkan menyebabkan kepunahan sebagian dari keanekaragaman hayati” (Francis, 2015:18-19).
Pemanasan Global Pemanasan global menjadi penyebab perubahan iklim serta mencairnya es di kutub dan di pegunungan tinggi. Fenomena alam ini bahkan dapat menyebabkan pelepasan gas metana yang berbahaya. Sementara itu, pembusukan bahan organik yang tadinya beku oleh salju dapat meningkatkan emisi karbon dioksida.
Hilangnya hutan tropis akibat pembalakan dan pembakaran maupun kebakaran kian memperburuk keadaan sebab keberadaan hutan sangat membantu mengurangi perubahan iklim, namun semuanya dihancurkan dominasi paradigma antroposentris teknokratis (Francis, 2015:19).
Tak terelakkan, permukaan air laut pun meningkat dan meluaplah air laut, terjadilah rob dan banjir. Fakta ini diperparah oleh terjadinya polusi karbon dioksida yang membuat pengasaman lautan meningkat. Dampaknya, rantai makanan biota laut pun terbahayakan.
Bila kecenderungan ini tidak diatasi dan dihentikan, manusia akan menyaksikan perubahan iklim yang luar biasa parah. Perusakan ekosistem yang belum pernah terjadi sebelumnya akan menimpa kehidupan kita bersama. Yang paling terdampak oleh perubahan dan kehancuran ini adalah kaum rentan. Setidaknya, seperempat penduduk dunia yang tinggal di wilayah pantai dan sebagian besar kota besar yang terletak di daerah pesisir terancam (O’Hara et al., 2022).
Panggilan Bersama
Budaya relativisme antroposentris teknokratis penyebab terjadinya krisis ekologi yang sebagian kecil saya deskripsikan tersebut menantang kita semua untuk bergerak bersama mewaspadai dan mengatasinya. Melayani sesama dan merawat semesta merupakan panggilan kita bersama, apa pun latar belakang sosial, politik, agama, dan kepercayaan kita. Mengapa? Karena Bumi adalah rumah kita bersama. Krisis ekologi dengan berbagai bentuknya merupakan tantangan kita bersama.
Adalah panggilan kita bersama menghadapi siapa saja yang menghancurkan keanekaragaman hayati ciptaan dan yang mengurangi keutuhan Bumi dengan menyebabkan perubahan iklim, dengan menggunduli tanah dari hutan alamnya atau menghancurkan lahan-lahan basahnya. Bersama-sama kita menghadapi mereka yang mencemari perairan di Bumi, tanahnya, udaranya, dan hidupnya serta mengancam generasi mendatang.
Melayani sesama dan merawat semesta merupakan panggilan bersama dan tantangan utama yang dihadapi umat manusia pada zaman ini. Generasi mendatang akan merasakan dampak terburuknya, terutama banyak orang miskin yang tinggal di wilayah-wilayah yang paling dipengaruhi oleh pelbagai gejala yang terkait dengan pemanasan global, perubahan iklim, kenaikan permukaan air laut, dan parahnya biodiversitas kita.
Penghidupan mereka sangatlah tergantung pada cadangan sumber daya alam dan jasa ekosistem seperti pertanian, perikanan, pertanian, dan kehutanan. Panggilan kita bersama adalah meminimalisir perilaku eksploitatif alam sembarangan, agar tidak menimbulkan risiko menghancurkannya dan pada gilirannya ia sendiri menjadi korban degradasi ini. Inilah tantangan kita bersama melayani sesama dan merawat semesta.
#Tribun Jateng 7 Juli 2022 hal. 2