Mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup pada Kabinet Persatuan Nasional, Alexander Sonny Keraf menyampaikan bahwa pembahasan terkait RUU Energi Baru dan Terbarukan (EBT) masih belum diperlukan, jika permasalahan yang ada belum diselesaikan dengan baik.
Dirinya menyebut, ada sejumlah permasalahan yang mengadang untuk mewujudkannya menjadi UU EBT. Beberapa di antaranya, masih dipertanyakannya keseriusan dan konsistensi pemerintah untuk beralih kepada ET, banyaknya kepentingan energi fosil yang menghambat itu, serta adanya dugaan usaha dan pedagang fosil yang mencoba mengerangkeng agar tidak serius ada pembahasan peralihan ke ET.
"Jadi, permasalahannya bukan karena aturannya kurang atau tidak kuat, justru aturan itu sudah ada banyak bahkan sudah dibahas secara terperinci. Kalau seperti itu. permasalahannya, kita sepertinya tidak butuh lagi UU EBT. Persoalannya, karena kita seperti tengah menari "Poco-Poco" dalam pembahasan tersebut yang terus maju selangkah, kemudian mundur selangkah dan begitu seterusnya tanpa ada perkembangan," papar dia, saat diminta menjadi narasumber dalam Webinar bertema utama "RUU Energi Baru dan Terbarukan (EBT), untuk Siapa?", yang digelar Ruang-Rabu Program Magister Lingkungan dan Perkotaan (PMLP) Unika Soegijapranata bersama Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Jumat (10/9).
Sonny Keraf menambahkan, hal yang justru harus dilakukan dalam pembahasan EBT yaitu dengan mengawasi dan mendesak pemerintah agar serius dan konsisten dalam melaksanakan aturan yang ada untuk beralih ke EBT. Kekhawatirannya, justru jika masih berlarut-larut dalam tahap tersebut, maka adanya aturan baru tidak membuat keadaan menjadi bertambah maju. Keadaan masih stagnan seperti halnya Tari "Poco-Poco".
"Padahal, kondisi global yang ada di negara-negara maju dan perusahaan besar memiliki gairah untuk beralih pada ET. Bahkan sekarang ada kecenderungan harga ET tengah mengalami penurunan setahap demi setahap, sehingga bisa mengalahkan energi fosil. Keseriusan mereka beralih ke ET karena adanya kekhawatiran terhadap krisis iklim termasuk keberadaan pandemi Covid-19," tutur dia.
Kepastian
Sementara itu, anggota Komisi VII DPR RI Fraksi Gerindra, DR Jr Kardaya Warnika selaku narasumber kedua menyampaikan, gelora semangat untuk menuju EBT tengah terjadi di mana-mana tanpa henti. Itu yang kemudian menjadi salah satu alasan kenapa DPR RI mencoba untuk mendorong munculnya UU EBT. Hanya saja, dirinya menyebut bahwa keberadaan UU harus mengandung kepastian dan bukan kerancuan maupun multitafsir yang justru dapat membahayakan semua pihak.
"UU dibuat harus dapat memenuhi tujuan nasional bangsa Indonesia. Dalam hal keenergian berarti adanya keinginan meningkatkan pemanfaatan ET. Misalnya karena tergolong energi terbarukan yang semakin lama pembiayaannya akan menjadi semakin terjangkau. Kami juga berharap bahwa keberadaan UU jangan hanya berlaku untuk satu atau dua tahun saja, namun harus dipikirkan agar bisa berlaku selamanya. Mengingat proyek energi memiliki jangka waktu yang cukup panjang," terang dia. Adapun dua narasumber lainnya yaitu Irine Handika Ikasari yang merupakan Tim Analisis Kajian Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada (PSE UGM) dan Hotmauli Sidabalok P selaku Dosen Ilmu Hukum dan Magister Perkotaan Unika Soegijapranata.
Acara webinar tersebut dipandu Dosen Prodi Ilmu Hukum Unika Soegijapranata Donny Danardono, yang juga dihadiri Djoko Winanrno selaku Ketua Umum Masyarakat Energi Biomassa Indonesia (MEBI), Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tuwima, mahasiswa dan pemerhati lingkungan perkotaan maupun permasalahan energi, serta peserta dari bidang lainnya.
►Suara Merdeka 11 September 2021 hal. 3