Oleh: Aloys Budi Purnomo Pr, Ketua Komisi Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan Semarang
API PON XX Papua sudah menyala di Timika (29/9/2021). Dalam kobaran api itu terdapat spirit kompetisi sportif. Semua bercita-cita meraih kemenangan dan menjadi juara. Api PON juga membawa berkah sosio-ekonomi berupa kesejahteraan bagi masyarakat daerah yang ditempati. Minimal itu menjadi salah satu harapannya.
Sementara di Timika menyala api PON XX, di Jambi berkobar api sumur ilegal yang membahayakan lingkungan. Hingga Rabu (29/9/2021), terhitung sudah sebelas hari, kobaran api itu masih menyala. Tak ada spirit kompetisi sportif di dalamnya. Alih-alih, justru spirit destruktif dan manipulatif.
Bersama api PON di Timika dan api sumur ilegal di Jambi, jika hari ini cerah, luangkan waktu sejenak dan rasakan kehangatan energi api matahari dengan rasa syukur dan bahagia. Di masa pandemi yang belum sepenuhnya berakhir betapa pentingnya merasakan kehangatan sinar matahari bagi tubuh kita. Saat menikmati matahari pejamkan mata dan nikmatilah kehangatannya. Kita bersyukur bisa menikmati matahari sepanjang tahun. Bayangkan mereka yang tinggal di negeri empat musim dengan suhu musim gugur yang lebih dingin, bahkan di musim dingin yang mematikan. Sementara di musim panas pun, saat matahari bisa dinikmati, tak jarang justru sejumlah lansia dan yang rentan meninggal dunia.
“Tarian Kosmik”
Kita bersyukur atas matahari yang dalam bahasa Thomas Meton disebut sebagai bagian dari “tarian kosmik”. Dalam “tarian kosmik” itu, matahari adalah keajaiban. Ia memberikan intensitas kehangatan yang tepat yang dibutuhkan agar kehidupan ada di Bumi. Tumbuhan diberi makan dari sinar matahari melalui fotosintesis. Tidak pernah kita pikirkan sampai sekarang, manusia mampu menghasilkau vitamin D yang memperkuat tulang melalui paparan sinar matahari, yang sangat dibutuhkan di masa pandemi Covid-19. Gratis!
Dalam “tarian kosmik” sejarah peradaban, penemuan api pun mengubah jalannya sejarah manusia. Di satu sisi, api ini telah memungkinkan umat manusia untuk membuat kemajuan yang kita manfaatkan api PON, listrik, akses ke teknologi yang menyelamatkan jiwa, bahkan Internet yang di era digital dan pandemi ini sangat dibutuhkan untuk membantu komunikasi kita.
Sayangnya, “tarian kosmik” peradaban api juga dapat merusak seperti terjadi dalam kasus “sumur api Jambi”. Tak jarang terjadi kebakaran yang bahkan membawa korban tak hanya material finansial, bahkan korban jiwa. Api merusak atau bahkan sengaja dipergunakan merusak secara akut karena kebakaran hutan terus terjadi.
Pembakaran bahan bakar fosil dalam jumlah yang belum pernah terjadi sebelumnya, hadiah dari tubuh tumbuhan dan hewan yang sebelumnya menghuni Bumi, telah memungkinkan beberapa bagian dunia untuk makmur sementara di belahan dunia lain mengalami dampak buruknya. Akibatnya, perubahan bahkan krisis iklim terus terjadi. Seringkali dengan dampak yang tidak proporsional pada masyarakat yang mengkonsumsi paling sedikit namun harus menanggung akibat yang lebih berat.
Insan Spiritualis
Dalam “tarian kosmik” itu, kita ditantang sadar akan jati diri kita sebagai manusia rohani, homo spiritualis. Dalam realitas ini kita mengekstrapolasi bahwa api pun memiliki aspek spiritual. Semua agama mengakui adanya Roh Suci yang digambarkan sebagai api. Dan api ini membantu kita menyebarkan pesan kerukunan, kebaikan, keadilan, perdamaian, keutuhan ciptaan dan kelestarian lingkungan hidup. Sebagai insan spiritual kita juga dipanggil untuk berbicara dengan berani saat kita mengharapkan cara baru dalam hubungan dengan alam, tempat kita bergantung pada elemen matahari dan angin daripada bahan bakar fosil.
Mengikuti pendapat Ronald Rolheiser, kesadaran akan pentingnya dimensi eko-spiritual dapat diletakkan pada fakta bahwa dalam diri kita terdapat penyakit mendasar, api yang tak terpadamkan yang membuat kita tidak mampu, dalam hidup ini, untuk mencapai kedamaian dan kebahagiaan penuh. Keinginan ini terletak di pusat kehidupan kita, di sumsum tulang kita, dan di relung jiwa. Di jantung semua sastra, puisi, seni, filsafat, psikologi, dan agama terletak penamaan dan analisis keinginan ini.
Menurut Rolheiser, spiritualitas adalah tentang apa yang kita lakukan dengan keinginan itu. Bisa positif bisa negatif. Apa yang kita lakukan dengan kerinduan kita, baik dalam menangani rasa sakit maupun harapan yang dibawanya kepada kita, itulah spiritualitas kita. Setiap orang memiliki spiritualitas, baik yang memberi kehidupan maupun yang merusak.
Menurut Brenna Davis, Direktur Pendidikan untuk Keadilan dan Inisiatif Lingkungan di Jaringan Solidaritas Ignatian, spiritualitas kita adalah api dan energi internal kita sendiri yang menggerakkan kita untuk bertindak dalam menanggapi rasa sakit dan harapan kita. Saat kita mempertimbangkan rasa sakit dan harapan yang kita pegang untuk dunia saat ini, kita harus menjaga bara api spiritual yang menopang kita sehingga kita dapat terus berbagi cahaya, karunia unik, dan hasrat kita dengan dunia. Hanya dengan merawat api internal ini, kita dapat memperlambat kebakaran eksterior dan menerangi jalan yang memberi kehidupan ke depan.
►Tribun Jateng 4 Oktober 2021 hal. 2