Oleh: Aloys Budi Purnomo Pr, Doktor Ilmu Lingkungan Unika Soegijapranata, Ketua Komisi Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan Kevikepan Semarang
HARIAN ini menurunkan berita daerah Jawa Tengah dengan judul ”Kisruh Pengukuran Lahan Wadas” (9/2). Saya tertarik dengan dua sub judul yang ditulis dengan warna merah atas berita tersebut, yakni ”Puluhan Warga Diamankan” dan ”Komnas HAM Minta Ditunda”.
Sebagaimana diwartakan, kisruh terjadi dalam konteks pengukuran tanah di Desa Wadas, Kecamatan Bener yang menjadi quarry untuk pembangunan Bendungan Bener karena terjadinya penolakan dari warga yang kontra.
Diberitakan pula, kisruh terjadi karena hadirnya aparat keamanan, yang meskipun bermaksud menjaga kondusivitas proses pengukuran serta mencegah terjadinya konflik horizontal antara warga yang pro dan kontra pembangunan waduk; namun secara sosiologis tetap memberikan kesan yang kurang simpatik.
Apalagi hingga terjadinya pengamanan (baca: penangkapan sejumlah warga) yang berdampak pula pada ketakutan mereka yang tidak setuju dengan pembangunan tersebut.
Keterlibatan Aparat
Dari semula, sejauh saya membaca referensi ilmiah, keterlibatan aparat keamanan, entah pihak polisi maupun tentara, sudah menjadi catatan yang harus diperhatikan dalam konteks pembangunan pada era demokrasi di Bener.
Disinyalir, proses pembangunan yang sudah mulai dirancang sejak 2013 ini telah dinodai oleh ”kekerasan aparat penegak hukum terhadap warga Desa Wadas” (H. Shaputra, www.researchgate.net).
Selain kisruh yang terjadi pada tanggal 8 Februari 2022, tahun lalu peristiwa kekerasan juga terjadi oleh pihak aparat ke warga Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah tepatnya pada hari Jumat tanggal 23 April 2021.
Mestinya, pola seperti itu tidak boleh berulang. Namun faktanya, itulah yang terjadi sehingga memantik warga netizen yang membuat tagar #WadasMelawan.
Tagar #WadasMelawan bergema di medsos, hingga putri sulung Gus Dur yang juga Direktur Nasional Gusdurian Network Indonesia (GNI), Alissa Wahid, memberikan komentar yang keras dengan pertanyaan reflektif: Berapa banyak rakyat kecil yang sudah dikorbankan atas nama pembangunan? (www.jpnn.com).
Di tengah krisis ekologi yang menimpa Bumi ini, para penguasa dan pengusaha tidak boleh menulikan diri dan menumpulkan hati nurani terhadap jeritan bumi dan jeritan kaum miskin. Keprihatinan global ini begitu nyata dan transparan di depan mata dalam konteks lokal di Wadas.
Faktanya, pembangunan Bendungan Bener telah menimbulkan kontroversi antara warga desa dan penguasa dan pengusaha. Rencana pembuatan bendungan dengan luas 114 Ha tanah tentu tidak boleh begitu saja mengabaikan dampak lingkungan terkait pertanian, perkebunan, dan konservasi hutan, pengelolaan aliran sungai, pengelolaan sedimen penyangga hutan dan gunung di wilayah Purworejo pada khususnya, dan Jawa Tengah pada umumnya.
Apalagi, proses pembuatan waduk tersebut melibatkan penambangan batu andesit yang tak terpisahkan dengan konservasi lahan.
Secara sosio-ekologis, proses pembuatan Bendungan Bener juga berhadapan dengan komunitas masyarakat warga yang peduli lingkungan. Mereka bergabung dalam tim yang bernama Gempa Dewa, singkatan dari Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas.
Selama ini, bersama Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Gempa Dewa melakukan berbagai macam kegiatan yang melibatkan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, yang bersama sejumlah ahli konstruksi bendungan UGM memberikan penjelasan, bahwa pengambilan batu di salah satu bukit dengan sifat andesit untuk bahan bangunan telah menimbulkan konfrontasi pemilik masyarakat, pemakai dan berbagai kepentingan untuk bendungan wadas (Hidajat, K, 2021).
Secara akademis Hidajat (2021) menjelaskan, bahwa rencana Bendungan Bener memiliki dampak terhadap lingkungan yang sangat besar terutama bagi lingkungan hidup, pertanian, perkebunan, hutan, dan penambangan (quarry) untuk materi pembuatan bendungan tersebut. Bahkan, pembuatan waduk tersebut juga berdampak pada pelestarian keanekaragaman hayati (biodiversitas) flora dan fauna terutama keberadaan burung elang yang masih mendominasi kawasan perbukitan Desa Wadas.
Dalam konteks itulah, pembangunan yang mengutamakan aspek ekologis, yakni kelestarian lingkungan dan keutuhan ciptaan mutlak harus menjadi perhatian utama. Seiring dengan itu, keadilan dan perdamaian bagi masyarakat warga, terutama mereka yang masuk dalam kategori kaum rentan harus diperhatikan dan dibela.
Keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan (KPKC) harus menjadi prioritas dan tidak boleh dilecehkan demi pembangunan teknokratis.
Hati Nurani
Persoalan esensial terkait dengan upaya mengutamakan pembangunan yang ekologis adalah pentingnya mengedepankan hati nurani demi generasi masa mendatang dari pada manfaat sesaat.
Dalam konteks krisis ekologi yang menimpa bumi ini, aspek ini menjadi conditio sine qua non, tidak bisa tidak, wajib diutamakan sebagai perhatian para penguasa dan pengusaha.
Sikap gegabah meraih manfaat sesaat apalagi disertai dengan sikap represif, menyebabkan matinya rasa hati nurani dan tertutupnya mata terhadap sebagian realitas dalam analisis-analisis yang melenceng.
Pendekatan pembangunan yang mengutamakan aspek ekologis yang sejati tidak bisa mengabaikan pendekatan sosial, yang harus mengintegrasikan soal keadilan dalam diskusi lingkungan hidup secara jujur dan transparan, untuk mendengarkan baik jeritan bumi maupun jeritan kaum miskin yang biasanya selalu menjadi korban pembangunan.
Proses pembangunan yang mengutamakan aspek ekologis hanya bisa terwujud manakala disadar dengan jujur dan rendah hati bahwa lingkungan alam adalah harta bersama, warisan seluruh umat manusia, tanggung jawab semua orang.
Jika tidak, atas nama pembangunan, perilaku manusia akan memberatkan hati nurani dengan beban menyangkal keberadaan orang lain yang memiliki suara berbeda (kontra).
Adalah suatu ketidakadilan, ketika segelintir orang mengonsumsi sumber-sumber daya sedemikian rupa sehingga mereka mencuri dari kaum miskin dan dari generasi mendatang, apa yang mereka butuhkan untuk bertahan hidup di masa mendatang (bdk. Paus Fransiskus, 2015, Ensiklik Laudato Sií, 93).
Pembangunan haruslah mengutamakan aspek ekologi dan disertai dengan pengembangan manusia dalam hal tanggung jawab, nilai-nilai, dan hati nurani yang transparan, jujur, dan adil. Dalam perspektif ini, rakyat yang harus menanggung penderitaan akibat dari ketidakjujuran, tidak akan melupakan kurangnya hati nurani dan tanggung jawab penguasa dan pengusaha yang mengedepankan sikap eksploitatif dari pada emansipatif manusiawi.
Hemat saya, di Jawa Tengah pada khususnya dan Pulau Jawa pada umumnya, seharusnya tak ada lagi ruang bagi eksploitasi lingkungan, apalagi sampai mengabaikan aspek-aspek keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan. (56)
#Suara Merdeka 10 Februari 2022 hal 1, 7