Oleh: Aloys Budi Purnomo Pr, Doktor Ilmu Lingkungan Unika Soegijapranata Semarang
TANGGAL 15 April 2022 menjadi hari libur nasional berdasarkan momentum iman Kristiani, sebagai Hari Libur Peringatan Wafat Isa Almasih (= Yesus Kristus). Istimewa, setiap tahun, hari libur sebagai peringatan wafat Isa Almasih ditawarkan di negeri ini, kendati bangsa Indonesia merupakan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia.
Realitas ini menghadirkan sebentuk sikap yang lebih dari sekadar toleransi, yakni sikap menghargai dan menghormati perbedaan dalam keberagaman. Orientasinya adalah kehidupan yang rukun dalam semangat perdamaian. Realitas ini menghadirkan data betapa sangatlah arif dan bijaksana para pendiri bangsa ini, hingga hari-hari keagamaan apa pun di negeri ditempatkan dalam ranah publik sebagai suatu peringatan yang dihormati dan menjadi hari libur secara nasional.
Lebih dari sekadar makna perdamaian, fakta historis wafat Isa Almasih dan refleksi teologis atasnya menawarkan pula suatu keadilan ekologis. Dalam satu kata bahasa Inggris, itulah yang disebut dengan eco-justice. Bagaimana momentum peringatan wafat Isa Almasih dihubungkan dengan makna eco-justice?
Peringatan kematian
Sejak saat melayani sebagai Ketua Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang (Kom HAK KAS) selama sebelas tahun (1998-2019) hingga saat ini, saya banyak belajar memaknai peringatan kematian dari para sahabat yang beragama Islam. Pengalaman tersebut semakin kuat sejak sosok KH Abdurrahman Wahid – akrah disapa Gus Dur, wafat. Pada hari peringatan wafat Gus Dur, selalu diselenggarakan haul di Ciganjur dan di banyak kota lainnya di seluas negeri ini.
Dalam penelusuran saya tentang makna haul, setidaknya ada pengertian penting yang bisa dicatat, yakni, bahwa haul merupakan momentum untuk mengenang seorang tokoh penting, khususnya para ulama yang telah meninggal dunia (M. Hanif Muslih, 2006). Pengenangan tersebut dimaksudkan bukan hanya untuk mendoakan yang bersangkutan, melainkan untuk menggali nilai-nilai positif yang diwariskannya, agar dapat diteruskan siapa pun yang mengenalnya atau ingin belajar dari padanya. Ini kalau kita belajar dari perspektif Islam tentang peringatan kematian (haul).
Dalam tradisi Buddhis, tokoh yang bernama Sidharta Gautama, dan kemudian dikenal sebagai Sang Buddha, bahkan dikenang sekaligus kelahiran, kematian, dan pencerahannya dalam satu Hari Raya. Itulah yang dikenang pada Hari Raya Trihari Suci Waisak. Pengenangannya memuat pesan yang sama, yakni mewarisi keluhuran ajaran Sang Buddha.
Dalarn tradisi iman Katolik, peringatan akan wafat Isa Almasih dimaksudkan untuk mengenang dan menghadirkan kembali sosok pribadi Yesus Kristus sebagai Sang Penebus dan Juruselamat. Kendati proses kematian tersebut terjadi secara tragis menurut ukuran manusia, yakni dengan jalan penyaliban (via crucis) dan jalan penderitaan (via dolorosa), namun jalan tersebut telah menjadi jalan ilahi sebagai karya penebusan dan penyelamatan. Dalam permenungan saya, jalan dan karya tersebut menjadi kisah kasih dalam sengsara demi keselamatan. Itulah yang disabdakan-Nya sendiri, “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yohanes 15:13). Yesus sendiri telah membuktikan sabda-Nya tersebut melalui peristiwa penyaliban-Nya. Bahkan, pada malam sebelum peristiwa penyaliban terjadi, Yesus bahkan bersabda kepada para murid-Nya, “Sebab inilah darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa” (Mathis 26:28). Itulah sebabnya, peringatan wafat-Nya menjadi kenangan akan kisah kasih sengsara-Nya demi keselamatan!
Eco-justice
Keselamatan yang ditawarkan Yesus bukan hanya untuk umat manusia, melainkan juga untuk semua makhluk. Hal ini ditegaskannya dalam sabda-Nya sesudah kebangkitan-Nya dari kematian. Kepada para murid-Nya, Yesus bersabda, “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk” (Markus 16:15). Makna dari “segala makhluk” mencakup pula seluruh alam ciptaan, lingkungan hidup, singkatnya, bumi dan seisinya.
Itulah sebabnya, perutusan yang mengacu pada inti iman Kristiani sengsara, wafat, dan kebangkitan Yesus tersebut juga dapat dimaknai dalam perspektif eco-justice, keadilan lingkungan hidup. Dalam Ensiklik Laborem Exercens (LE, 1981), yakni ensiklik tentang makna kerja manusia, Paus Yohanes Paulus II menunjukkan kaitan antara salib Kristus dan keadilan lingkungan (eco-justice). Menurutnya, dengan menanggung jerih payah kerja dalam persatuan dengan Kristus yang disalibkan, manusia dengan cara tertentu bekerja sama dengan Kristus demi penebusan umat manusia (LE 645).
Meminjam refleksi St. Paulus, “seluruh kepenuhan Allah berkenan diam di dalam Dia, dan oleh Dialah Allah memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di surga, sesudah Ia mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus” (Kolose 1:19-20). Wafat dan kebangkitan Kristus menjadi representasi nyata eco-justice yang seutuhnya.
Dengan pemaknaan ini, maka, setiap kali mengenang wafat Isa Al-masih, umat Kristian juga ditantang untuk mewujudkan eco-justice dalam tataran praktis. Caranya, jangan bersikap eksploitatif terhadap alam ciptaan; bertanggungjawablah dalam merawat keutuhan ciptaan dan kelestarian lingkungan hidup ini! Menanam pohon, tidak buang sampah sembarangan, hemat air dan listrik adalah bentuk-bentuk sederhana praksis eco-justice. Dengan demikian, keselamatan dihadirkan bagi semua makhluk! (*)
# Tribun Jateng 13 April 2022 hal. 2