TRANSISI kepemimpinan tertinggi negeri ini melalui perebutan kekuasaan berlabel demokrasi ternyata masih menyisakan ’’luka’’. Dua kekuatan politik,Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih terlibat dalam sebuah proses saling memangsa (predasi), bukan kompetisi, apalagi sekadar kontes. Bukan itu saja, kita juga baru saja disuguhi pameran kekerasan atas nama keretakan dalam tubuh partai politik, dari aksi banting meja hingga penyerbuan dan baku pukul.
Belakangan perebutan keuasaan itu merambah ke dalam tubuh partai dan menghasilkan wajah politik yang serba tandingan. Berkaca pada semua kekisruhan itu tentu tidak berlebihan jika kita meragukan kualitas para pemimpin (politik)negeri ini. Pertanyaan selanjutnya adalah proses pembentukan kepemimpinan seperti apa yang diperlukan agar negeri ini bebas dari pemimpin-pemimpin macam itu.
Di tengah kegalauan itu, saya beruntung mendapat kesempatan membaca buku Mendidik Pemimpin dan Negarawan(MPN) karya A Setyo Wibowo dan Haryanto Cahyadi. Buku ini mengulas sosok ideal pemimpin dan pendidikan calon pemimpin ala Platon, pemikir besar Yunani kuno.
Mengacu Platon, penulis MPN menyatakan bahwa ’’…pemimpin itu sekaligus bisa dan tidak bisa diprogramkan’’. Leader tidak bisa diprogramkan karena ia adalah soal bakat, karunia, rahmat yang diberikan dari alam atau Ilahi. Namun dalam arti tertentu juga bisa diprogram manakala pendidikan dijalankan atas dasar seleksi. Artinya orang-orang berbakat diseleksi, dikumpulkan, dididik dengan program tertentu.
Platon menawarkan pendidikan (paideia) untuk melahirkan pemimpin yang negarawan (kalokagathos) untuk mereformasi masyarakatnya. Reformasiitu bisa terjadi karena pemimpin-filsuf ala Platon adalah negarawan yang harus mendidik warganya.
Platon adalah pemikir pertama yang menyajikan model politik dan administrasi yang sistematik untuk mengatur perikehidupan dalam sebuah negara yang ideal(ideal state).
Memang Utopia
Menurut Platon, jati diri pendidikan adalah paideia (pembudayaan). Pendidikan selalu merupakan upaya seleksi mendidik anak-anak terbaik supaya bisa meneruskan proses pembudayaan.
Paradigma yang ditawarkan adalah sebuah sekolah kader: mendidik dengan seleksi ketat dan memberikan kurikulum terstruktur baik supaya kelak mereka menjadi pemimpin.
Pendidikan untuk calon pemimpin adalah pendidikan yang elitis, hanya mereka yang berbakat yang akan dididik.Filsafat pendidikan Platon memiliki sejumlah elemen, yaitu(1) pendidikan sebagai pembudayaan, (2) pendidikan usiadini yang merujuk pada sensibilitas prarasional (melalui mitos dan dongeng, paradigmateologis yang lurus, pendidikanseni), (3) pendidikan olah fisik untuk pradewasa,(4) ilmu-ilmu abstrak (sains danmatematika) untuk usia dewasa.
Pendidikan calon pemimpin ala Platon dikhususkan untuk calon punggawa pemimpin yang akan memiliki tugas menjaga dan melindungi negara, semacam campuran pamong praja dan tentara.
Demi memenuhi kebutuhan itu mesti dipilih anak-anak yang memiliki bakat alamiah menjadi seorang filsuf, yang sejak kecil ditengarai punya potensi yang dapat diasah maksimal menjadi sosok pemimpin ideal.
Gagasan penciptaan pemimpin-filsuf Platon memang sebuah utopia. Dari the Republic, ’’terbaca’’ bahwa gagasan politik Platon adalah bahwa negara harus dipimpin oleh filsuf dengan pemahaman yang mumpuni tentang prinsip-prinsip moral yang harus menjadi dasar tatanan sosial.
Dalam kenyataannya, ide Platon untuk menghasilkan pemimpin-filsuf bisa dibilang gagal total.
Meskipun cita-cita itu bertahan, dan Academia miliknya terus mendiseminasikan pendidikan yang diperlukan untuk membentuk pemimpin-filsuf, Platon sampai pada titik harus mengakui bahwa ia harus menerima kenyataan bahwa adalah menghasilkan pemimpin-filsuf adalahcita-cita yang tidak terjangkau.
Meskipun demikian, cita-cita itu bertahan, Academia milik Platon terus mendiseminasikan pendidikan yang diperlukan untuk membentuk pemimpin-filsuf. Dan konsep Platon dalam mendidik calon pemimpin masih dapat ditemukan jejaknya dalam pendidikan di Eropa.
Terlepas bahwa gagasan pemimpin-filsuf Platon adalah sebuah utopia, gagasan ini menarik diperbincangkan justru karena diamenawarkan sesuatu yang sama sekali berbeda dari model kepemimpinan yang dihasilkan dari proses demokratis. Bisa dikatakan Platon memang bukanlah sosok demokrat, dan buah pikirannyapun tidak mencerminkan benih-benih pemikiran demokrasi.
Dalam konteks Indonesia, gagasan Platon tentang pemimpin-filsuf sebagai perwujudan sosok manusia utama terasa menemukan relevansinya ketika kita terus menerus disuguhi wajah kepemimpinan Indonesia mutakhir yang penuh bopeng. ”Kerusakan” wajah kepemimpinan Indonesia saat ini yang jelas-jelas didominasi oleh rezim epithumia yang tidak peduli pada upaya pencarian bonum commune atau kebaikan bersama. (10)
— Budi Widianarko, Rektor UnikaSoegijapranata Semarang