Oleh : H. Sri Sulistyanto *)
Dioperasikannya beberapa ruang tol fungsional di wilayah Jawa Tengah pada mudik Lebaran 2018 ini, memang patut disyukuri. Betapa tidak, selain membuat lalu lintas menjadi semakin lancar, semua itu sejalan dengan fokus pembangunan Pemprov Jateng dalam program strategis nasional. Cuma, masalahnya, selama ini Jateng sepertinya lebih memrioritas ruas Brebes-Pemalang-Semarang-Solo-Sragen daripada Bawen-Jogja. Lho kok bisa?
Cost-Benefit
Ya. Lihat saja, pembangunan jalan tol menuju Jogja sampai saat ini belum tersentuh sama sekali. Dengan alasannya yang bisa jadi sangat simpel. Yakni jalan tol Bawen-Jogja hanya akan menjadi pintu keluar-masuknya Jogja. Bukan akses untuk dari dan menuju Jateng. Bahkan bisa dikatakan orang sekadar numpang lewat dan membuang asap di Jateng.
Maka bukan tanpa alasan jika ada yang mengatakan jalan tol Bawen-Jogja akan membuat perekonomian dan pariwisata Jogja bakal makin moncer. Berbanding terbalik dengan Jateng yang memang belum mempunyai objek wisata ikonik. Seperti Malioboro, Keraton, maupun Pantai Parangtritis di Jogja. Bahkan, ironisnya, Borobudur dan Prambanan pun acap lebih dikenal berada di Jogja. Atau, meski berkunjung ke kedua tempat wisata tersebut, tetap menginap di Jogja.
Inilah sebabnya mengapa Jateng masih terasa seperti ogah-ogahan merealisir rencana pembangunan tol ruas Bawen-Jogja. Karena, meski hampir tiga perempat bagiannya berada di wilayah Jateng, sebagian besar manfaatnya justru akan dinikmati oleh masyarakat Jogja.
Bahkan, jangankan manfaat, Jateng bisa jadi bakalan hanya akan menanggung cost-nya. Baik out of pocket cost maupun opportunity cost. Tidak seperti pembangunan pada umumnya yang selalu berusaha menyeimbangkan antara pengorbanan dan manfaatnya. Baik dari aspek finansial maupun ekonomi. Agar output, outcome, dan impact bisa dirasakan masyarakat secara langsung.
Jangan sebaliknya, misalnya, masyarakat kehilangan mata pencaharian karena lahannya dipakai untuk jalan tol. Kemudian bingung harus berbuat apa karena tidak bisa memanfaatkan ganti rugi yang diterimanya untuk kegiatan produktif. Namun habis dikonsumsi.
Atau, seperti yang terjadi di daerah Cipularang dan Cipali. Di mana jalan tol membuat banyak pedagang kecil jalur Jakarta-Bandung dan Panturan yang gulung tikar. Karena pengemudi kendaraan biasanya menjadi konsumennya memilih langsung masuk jalan tol saat melintasi kawasan itu.
Situasi seperti itulah yang dikawatirkan ketika tol Bawen-Jogja nanti beroperasi. Akan banyak pedagang dan pengusaha kecil yang kehilangan konsumennya. Seperti pedagang srabi cocor di Ngampin Ambarawa, penjual durian di Jambu Semarang, petani kelengkeng di Pringsurat Temanggung, pengrajin sapu dan cobek di Muntilan, dan sebagainya. Demikian pula bengkel kendaraan, jasa tukang parkir, sampai dengan “pak ogah”.
Daftar di atas bakalan diperpanjang dengan usaha menengah-besar yang biasa melayani masyarakat yang melewati jalur Semarang-Magelang-Jogja. Seperti SPBU, rumah makan, toko oleh-oleh, maupun mini market. Yang jumlahnya cukup signifikan. Dengan jumlah pekerja yang cukup banyak.Belum lagi pemasok yang menitipkan barangnya di toko-toko tersebut.
Itu sebabnya mengapa “matinya” jalur lalu lintas Semarang-Magelang-Jogja dikawatirkan akan diiringi dengan berbagai permasalahan sosial. Karena padatnya lalu lintas di jalur ini memang telah menjadi sumber penghidupan masyarakat sekitarnya. Dengan berbagai jenis aktivitas dan usahanya.
Usulan untuk menempatkan para pengusaha dan pedagang kecil di rest area tol juga tidak mudah dilaksanakan. Mengingat lokasinya sangat terbatas. Sementara di sisi lain mereka juga harus bersaing dengan pengusaha bermodal besar. Seperti yang terjadi di rest area tol Semarang-Bawen, yang lebih banyak diisi oleh brand terkenal. Seperti Indomaret, Alfamart, dan Starbucks. Sementara pedagang kecil hanya bisa terjepit di antara mereka.
Karenanya, bagi Jateng, cost pembangunan, pengembangan, dan pengelolaan jalan tol Bawen-Jogja memang tampak menjadi tidak sepadan dibandingkan dengan benefit-nya.Hingga mudah dipahami jika Jateng masih seperti enggan memasukkan jalan tol tersebut sebagai proyek prioritasnya. Karena tidak ingin hanya menjadi penonton lalu lalang kendaraan dari dan menuju Jogja.
Catatan Penutup
Namun demikian, dalam konteks pembangunan nasional, juga tidak tepat jika Pemprov Jateng keukeuh dengan kepentingan pribadinya. Jalan tol Bawen-Jogja tetap harus dibangun. Meski diperlukan solusi yang bisa menjembatani kepentingan Jateng. Agar juga bisa menikmati manfaat dari keberadaan infrastruktur tersebut. Hingga rela“menyerahkan” wilayahnya untuk proyek itu.
Salah satunya adalah dengan mengembangkan dan mengelola Jateng dan Jogja sebagai satu kesatuan aglomerasi. Atau bagian yang tidak terpisahkan satu dengan yang lain. Khususnya di bidang industri dan pariwisata. Misalnya dengan membentuk Sekretariat Bersama (Sekber) Aglomerasi Kawasan Industri dan Pariwisata Jateng-Jogja. Setuju?
*) Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unika Soegijapranata.