Oleh: MARGARETHA SIH SETIJA UTAMI
Dari beberapa penelitian aplikasi Theory of Reasoned Action di Indonesia, diketahui bahwa norma subyektif lebih kuat pengaruhnya daripada sikap pribadi. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat kolektivis.
Pada saat rektor kami membuat surat keputusan bahwa karyawan yang punya risiko tertular Covid-19 harus bekerja di rumah, ada hal menarik. Di antara para dosen yang termasuk kriteria rentan tertular, yaitu yang berusia di atas 51 tahun, punya penyakit bawaan, dan menggunakan transportasi umum, ada yang minta izin untuk boleh tetap kerja di kampus. Mereka sangat merindukan kampus.
Walaupun sudah mengajar secara daring di rumah, mereka tetap datang ke kampus untuk menengok ruang kerja atau menyapa karyawan muda yang dapat giliran jaga kampus. Sesekali mereka menengok ruang kelas sambil mengeluh sepi tanpa kehadiran para mahasiswa.
Bagi kita yang menyadari betapa dahsyatnya penyebaran Covid-19 dan risiko tinggi bagi para usia lanjut dengan sakit bawaan, akan geregetan dengan kenekatan para dosen senior ini. Mereka tahu siapa saja yang rentan terinfeksi. Mereka juga tahu pemerintah dan rektor meminta mereka tinggal di rumah untuk mencegah terinfeksi. Namun, mereka tak menggunakan pengetahuan mereka dalam memutuskan bertindak karena mereka menggunakan perasaan.
Setelah setiap hari selama bertahun-tahun bekerja di dalam kantor dan selalu diingatkan untuk hadir, kalau tak hadir akan dapat sanksi, sekarang mereka harus mengubah pola pikir bahwa mereka harus bekerja di rumah. Sebuah perubahan mendadak yang tak mudah dilakukan. Ada rasa kehilangan kebiasaan sehari-hari mereka. Mereka juga merasa kehilangan hal baik yang selama ini mereka hayati.
Para dosen senior ini orang yang punya pendidikan tinggi dan terbiasa untuk beradaptasi pola pikir, namun masih mengalami kesulitan untuk sebuah perubahan mendadak. Bagaimana dengan saudara-saudara kita yang belum tahu tentang Covid-19? Bagaimana dengan orang yang hidupnya dibentuk dari kebiasaan-kebiasaan rutin tanpa pernah mereka cerna alasan yang mendasari kebiasaan itu. Mereka mengalami kesulitan melakukan perubahan.
Norma subyektif
Tokoh psikologi, Icek Ajzen dan Martin Fishbein (1970), mencetuskan Theory of Reasoned Action untuk menjelaskan sebuah perilaku. Menurut Ajzen dan Fishbein, perilaku ditentukan oleh niat seseorang. Niat dipengaruhi oleh sikap terhadap perilaku dan norma subyektif. Sikap seseorang terhadap perilaku terbentuk dari keyakinan terhadap hasil dan evaluasi terhadap hasil perilaku itu.
Jika seseorang meyakini hasil dari perilakunya adalah sesuatu yang baik dan penting baginya maka dia akan bersikap positif terhadap perilaku itu. Kalau seseorang berkeyakinan hasil dari perilaku itu tak baik atau tak penting maka dia bersikap negatif terhadap perilaku itu dan tak akan melakukannya.
Pada saat ini banyak orang tetap melakukan ibadah agama secara bersama walaupun sudah diimbau untuk beribadah di rumah. Imbauan tak ditaati karena mereka meyakini perilaku beribadah bersama akan menghasilkan surga. Mereka akan tetap beribadah bersama supaya mendapat surga.
Mereka tak melakukan social distancing karena bagi mereka itu mungkin menghindarkan diri mereka dari Covid-19. Namun, terhindar dari Covid-19 bukan hal penting bagi mereka. Bukankah kematian bagi usia lanjut sudah normal, apalagi usia lanjut itu punya penyakit bawaan? Bandingkan dengan penyakit yang kebanyakan korbannya anak-anak. Anak- anak diharapkan masih hidup panjang, belum boleh meninggal.
Kalau kita membahas angka kematian terkait Covid-19, banyak masyarakat kita tak terlalu paham angka. Kita bisa lihat betapa pelajaran terkait angka, misal matematika dan statistika adalah pelajaran yang dihindari karena membuat pusing.
Norma subyektif adalah persepsi seseorang terhadap pendapat orang penting di kehidupannya tentang perilaku yang akan dia lakukan dan motivasi orang itu untuk ikuti pendapat orang yang dianggap penting. Masyarakat kita masyarakat kolektif dan religius. Kebanyakan mereka menganggap tokoh agama orang penting di kehidupan mereka.
Saat pemerintah memberi imbauan salah satu cara mencegah terinfeksi Covid-19 adalah meniadakan ibadah agama secara bersama-sama, masyarakat sangat sulit menerima jika pemimpin agama tidak memberikan saran yang sama.
Peran tokoh agama
Dari beberapa penelitian aplikasi Theory of Reasoned Action di Indonesia, diketahui bahwa norma subyektif lebih kuat pengaruhnya daripada sikap pribadi. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat kolektivistik yang mendasari perilaku pada persepsi terhadap pendapat orang penting bagi mereka.
Untuk itu, alangkah baiknya menghindari “perlawanan” terhadap imbauan pemerintah yaitu pembatasan kegiatan ekonomi dan mobilitas masyarakat, seperti saat menyambut Paskah dan Idul Fitri, para tokoh agama jadi sosok terdepan yang memberi penjelasan dan meyakinkan kepada masyarakat bahwa melakukan pencegahan penularan Covid-19 adalah penting.
Ikut mencegah tertularnya diri sendiri dan orang lain adalah sebuah kebaikan yang juga dapat pahala surga. Para tenaga medis perlu bekerja sama dengan para pimpinan agama supaya dalam memberi perlakuan ke pasien dan jenazah pasien Covid-19 mempertimbangkan sentuhan keagamaan yang membuat masyarakat rela mendengar dan dirawat tenaga medis.
Pengabaian ritual keagamaan khususnya pada jenazah, di titik akhir kehidupan manusia, akan jadi bumerang bagi usaha kesehatan karena perlakuan para tenaga medis yang sudah mengorbankan jiwa raga untuk masyarakat akan dianggap sebagai perlakuan yang mengkhianati kesucian kehidupan masyarakat. Semoga di dalam kelelahan kita menghadapi Covid-19 ini kita semua masih menggunakan akal-budi kita untuk berperilaku sehat.
(Margaretha Sih Setija Utami, Dosen Psikologi Kesehatan Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang)
►Kompas 8 April 2020 hal.
https://kompas.id/baca/opini/2020/04/08/akal-budi-hadapi-covid-19/