Oleh: Benny D Setianto, Dosen Unika Soegijapranata, Semarang
PENGANGKATAN Pak Nadiem Makarim menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan memunculkan banyak seloroh tentang bagaimana nantinya dunia Pendidikan akan digiring ke arah serba online (daring-dalam jaringan). Hal itu semakin dipertegas dengan gebrakan untuk Merdeka Belajar, yang masih banyak memunculkan perdebatan di sana-sini.
Namun, tampaknya perdebatan yang mungkin akan berkepanjangan itu segera terhenti karena keterpaksaan untuk melakukan pembelajaran daring sudah harus terjadi. Pandemi covid-19, memaksa belajar dari rumah menjadi keniscayaan saat ini.
Terlepas dari keterhenyakan banyak pihak karena keniscayaan itu berlangsung secara mendadak dan tiba-tiba, serta ketidaksiapan infrastruktur yang ada di Indonesia, tulisan ini akan menunjukkan sisi lain dari keniscayaan pembelajaran daring ini.
Perubahan model bisnis
Meminjam pemaknaan Revolusi Industri 4.0, yang terjadi tidak sekadar penyematan teknologi informasi, penggunaan big data, dan pemanfaatan kecerdasan buatan ke dalam dunia bisnis. Tetapi, lebih kepada terjadinya perubahan mendasar atas model industri itu sendiri. *Gerakan percepatan produksi yang menandai terjadinya revolusi industri 1.0, telah berkembang sedemikian rupa. Sehingga, berapa banyak, kapan harus diproduksi dan kapan harus dikirimkan kepada konsumen sudah tidak lagi dikendalikan manusia. Tetapi, sudah diserahkan kepada mekanisme kecerdasan buatan.
Model bisnis untuk membangun infrastruktur besarbesaran secara mandiri telah diubah dengan model crowd sourcing (diserahkan kepada mekanisme ketersediaan dari berbagai sumber) yang hanya perlu dibuatkan jaringannya saja.
Setiap sumber akan mencari dituntun kecerdasan buatannya untuk bisa bekerja sama menciptakan dan memenuhi kebutuhan secara tepat guna dan tepat waktu. Model bisnis berubah total karenanya, dan berubah dalam waktu yang cepat.
Pendidikan 4.0
Sekalipun bukan bagian dari industri dalam artian memiliki motif utama untuk meningkatkan profit, tetapi pendidikan sedikit banyak harus bisa juga mengikuti perubahan model bisnis yang terjadi di dunia industri.
Penerapan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) yang mendorong perguruan tinggi untuk bisa semakin menghubungkan dirinya dengan kebutuhan dunia industri menjadi contoh keniscayaan, bahwa pendidikan tidak bisa kalis atas revolusi industri yang terjadi.
Terpisah dari upaya-upaya menyesuaikan kurikulum kepada standar KKNI, perguruan tinggi masih belum beranjak dari dunia nyaman untuk menjadi lembaga yang masih menjalankan bisnisnya sebagaimana biasanya (business as usual). *Ada banyak alasan yang sebenarnya mencerminkan ketakutan untuk menghadapi perubahan model pendidikan, terutama atas infiltrasi dari teknologi informasi. Pertemuan tatap muka menjadi keharusan bagi proses pemindahan nilai kepada anak didik dan bukan sekadar pengetahuan.
Itu salah satu alasan utama yang terjadi. Padahal, ada banyak keluhan juga kelas-kelas yang kosong karena dosennya lebih sering terlibat kepada kegiatan penelitian atau menjadi narasumber di luar kampusnya.
Belum lagi kenyataan bahwa memang dosennya tidak mampu mengimbangi kecepatan teknologi informasi itu sendiri. Ditambah dengan keengganan untuk mengembangkan diri. Sehingga, masih memosisikan diri sebagai sumber pengetahuan yang benar di dalam kelas yang diampunya. Akibatnya, mahasiswa menjadi produk penghapal atas kalimat sakti yang harus diproduksi kembali secara persis di lembar-lembar jawab ujian.
Akselerasi pendidikan karena covid-19?
Lalu, apakah keterpaksaan yang terjadi karena pandemik covid-19 yang menghilangkan tatap muka dalam ruangruang kelas mampu menjadi akselerator pendidikan 4.0? . Pertanyaan itu harus dijawab dengan merefleksikan apa yang terjadi dalam kurun waktu satu-dua bulan terakhir ini.
Ada dua unsur utama ketika model pendidikan secara umum akan dilaksanakan. Pertama, terkait dengan konten atau isi. Kedua, berhubungan dengan bagaimana isi itu akan disampaikan kepada peserta didik. Gabungan dari keduanya ini akan menentukan pedagogi apa yang akan diterapkan.
Tenaga pendidik yang masih mengandalkan konten yang sama dengan yang didapatkan pada saat mereka sendiri menjadi peserta didik tentu akan sangat kesulitan menjalankan proses pendidikan saat ini, apalagi di masa covid-19.
Keleluasaan peserta didik untuk bisa melakukan pencarian sumber informasi yang lebih baru dengan memanfaatkan jaringan internet akan membuat tenaga pengajar kehilangan posisi sebagai pusat perhatian apalagi pusat pengetahuan. Terlebih ketika prosesnya dilakukan secara mandiri di rumah, semakin kehilanganlah pamor pengetahuan tenaga pendidikan yang seperti itu.
Metode monolog satu arah yang biasa dilakukan sebagai metode yang dikenal tenaga pendidik dalam menyampaikan pengetahuannya. Dan, bahkan marah kalau tidak diperhatikan akan menjadi kehilangan daya tekannya ketika proses pembelajaran tidak lagi disekat dalam satu ruangan yang sama.
Akibatnya, banyak tenaga pengajar hanya sekadar meminta peserta didik untuk belajar sendiri dengan diberi beban tugas yang luar biasa banyaknya (kuantitatif). Atau, yang secara kualitatif bahkan tenaga pendidiknya belum tentu mengetahui jawaban detailnya.
Catatan akhir Covid-19 memang memaksa dunia pendidikan untuk menggunakan sarana-sarana komunikasi dengan teknologi informasi yang ada. Namun, yang banyak terjadi, tenaga pendidik baru berusaha memindahkan kelas di dalam ruangan ke dalam ruang-ruang virtual, tanpa mengubah pedagogi yang ada.
Konsekuensinya, tekanan yang diterima siswa ketika berada dalam sekat ruang yang sama dengan guru/ dosennya, tidak lagi berfungsi. Demikian juga dengan pusat perhatian tenaga pendidikan dalam sekat kelas juga kehilangan kekuatannya. Yang terjadi dalam masa pandemik covid-19 ini belum mendorong terjadi perubahan model bisnis pendidikan. Tetapi, sekadar memindahkan kejadian di ruang kelas yang bersekat ke dalam ruang virtual.
Akibatnya, akselerasi pendidikan 4.0 baru sekadar menengok dari jendela kelas. Dan belum menemukan perubahan model pedagoginya yang selaras dengan perubahan industri. Pandemik covid-19 hanya meruntuhkan tembok kelas, tetapi belum meruntuhkan tempurung otak dengan pola pikir industri lama.
►https://mediaindonesia.com/read/detail/312842-akselerasi-pendidikan-40-dalam-masa-covid-19