Angelina Ika Rahutami, Ekonom Unika Soegijapranata Semarang menyampaikan analisisnya, terkait usulan solusi Jateng menghadapi resesi ekonomi nasional.
Angelina menyebut, ekonomi suatu siklus yang dapat disebut sebagai konjungtur.
Pada suatu periode, ekonomi akan tumbuh namun pada periode lain mengalami pelambatan. Kelesuan ekonomi ini mengacu pada pertumbuhan ekonomi yang lebih kecil dibandingkan periode sebelumnya, namun masih tumbuh positif. Ada juga istilah stagnasi yaitu pertumbuhan ekonominya adalah nol persen.
Resesi, secara sederhana menunjukkan gambaran dari berkurangnya aktivitas ekonomi. Tidak terdapat standar baku, bagaimana suatu negara dikatakan berada dalam kondisi resesi. Tapi intinya, terjadi resesi bila negara mengalami pertumbuhan ekonomi negatif selama dua kuartal berturut-turut. Yang diikuti berkurangnya pendapatan riil masyarakat dan meningkatnya pengangguran serta kemiskinan.
Dalam 25 tahun terakhir ini, Indonesia hampir tidak pernah mengalami resesi. Tahun 1998 ada krisis finansial yang diawalli Maret 1997. Saat itu pertumbuhan ekonomi Indonesia minus 4,49% dan kontraksi terparah yaitu sebesar -18,26%. Resesi ini baru dapat pulih dua tahun sesudahnya.
Selama pandemi covid-19 ini, Indonesia telah mengalami pelambatan ekonomi mulai kuartal 1, 2020. Dan di kuartal 2, 2020 pertumbuhan ekonomi (year on year) mulai menjadi negatif yaitu sebesar -5,32%. Indonesia akan dikatakan resesi bila pada kuartal 3, 2020, pertumbuhan ekonomi adalah negatif.
Data pertumbuhan ekonomi kuartal 3 memang belum muncul. Tapi ditengarai kemungkinan besar Indonesia akan mengalami pertumbuhan ekonomi negatif pada kuartal 3, 2020. Diperkirakan kontraksi ekonomi Indonesia pada kuartal 3 di kisaran -1,08% sampai -5,4%. Di sisi lain, ada sedikit optimisme bila kita mengaitkan kontraksi ekonomi dengan mobilitas penduduk.
Berdasarkan beberapa penelitian, ditemukan terdapat hubungan yang positif antara mobilitas dan pertumbuhan ekonomi. Bila mobilitas berkurang sebesar 1% maka kontraksi pertumbuhan akan bertambah sebesar 0,28%.
Data Indonesia Mobility Index yang diperoleh dari Google mobility index, menunjukkan bahwa mulai Juni terjadi pergerakan naik hampir di semua aktivitas. Hal ini dapat digunakan sebagai indikasi bahwa kontraksi ekonomi di kuartal 3 tidak akan seburuk pada kuartal 2.
Dengan data tersebut, maka hampir dipastikan secara teknis Indonesia akan masuk ke kondisi resesi.
Apakah pengkategorian resesi penting? Resesi memang akan membawa dampak pada berkurangnya daya beli dan kesejahteraan, namun sebenarnya yang lebih penting dilihat adalah laju kontraksi ekonomi. Bisa saja suatu negara dikategorikan resesi karena pertumbuhan ekonomi awalnya memang rendah.
Berbeda dengan Indonesia yang pertumbuhan ekonominya tinggi, maka ketika masuk ke kondisi resesi pastilah terjadi laju kontraksi yang sangat besar. Bagaimana dengan Jawa Tengah? Jawa Tengah secara runtun waktu memiliki pola yang sangat mirip dengan Indonesia baik dari sisi pertumbuhan maupun struktur ekonomi. Bila biasanya pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan nasional, maka yang menjadi masalah adalah pada kuartal 2 ini kontraksi ekonomi Jawa Tengah jauh lebih tajam dibandingkan dengan angka nasional.
Pada kuartal 2, Jawa Tengah mengalami kontraksi sebesar -5,94%. Karena penggerak ekonomi Jawa Tengah adalah konsumsi dan investasi (sama dengan Indonesia), kemudian sektor ekonomi utamanya adalah Industri pengolahan dan perdagangan besar dan eceran, dimana kedua sektor ini adalah sektor yang paling terpukul dalam krisis ekonomi akibat COVID-19, maka hampir dapat dipastikan, Jawa Tengah juga menuju ke kondisi resesi.
Resesi COVID-19 memiliki dampak utama pada meningkatkan pengangguran dan angka kemiskinan, di samping tentu saja penurunan kesejehteraan. Selama pandemi terlihat jelas bahwa pola pengeluaran konsumsi masyarakat berubah karena menyesuaikan dengan perubahan pendapatan.
Prioritas pengeluaran masyarakat mengarah pada pembeliaan bahan pokok, listrik, vitamin, dan paket data. Masyarakat mulai melakukan pengurangan hal-hal yang bersifat tersier. Dampak yang juga terlihat jelas adalah bila resesi 1998 UMKM dapat menjadi penyangga ekonomi, maka saat ini UMKM dan sektor non formal merupakan kelompok yang terpukul dengan cepat akibat penurunan daya beli serta pembatasan aktivitas fisik.
Yang perlu diingat, resesi kali ini memiliki lingkungan dan dampak yang berbeda dengan resesi 1998. Resesi saat ini memiliki pola yang benar-benar spesifik karena tidak hanya terkait dengan ekonomi, namun juga dengan kesehatan. Dalam konsep ekonomi dikenal dengan adanya biaya oportunitas. Konsep biaya oportunitas ini sebaiknya tetap perlu digunakan untuk menghadapi resesi yang memiliki unsur kesehatan.
Mengejar pertumbuhan positif agar tidak dikategorikan resesi akan berbahaya bila kemudian mengabaikan ongkos kesehatan. Maka perimbangan antara aspek ekonomi dan kesehatan dalam Program Ekonomi Nasional (PEN) harus menjadi roh untuk menjaga agar resesi tidak berkelanjutan.
Dari sisi ekonomi peningkatan konsumsi rumah tangga dan bantuan usaha bagi UMKM untuk sementara waktu merupakan kunci. Hal ini karena kontribusi konsumsi dalam pembentukan PDRB Jawa Tengah di atas 50% dan sebagian besar bentuk usaha adalah UMKM.
Harapannya ketika konsumsi meningkat, maka produksi akan bergerak dan akan mendorong investasi. Penguatan daya beli salah satunya adalah melalui Bansos yang sudah disalurkan oleh pemerintah kepada 40% kelompok termiskin.
Dalam penyaluran Bansos pemerintah perlu memberi perhatian terhadap kemungkinan terjadinya exclusion error akibat pergerakan data yang berjalan dengan cepat.
Masyarakat yang dulunya berada dalam kondisi near poor mulai masuk ke kelompok miskin, dan kemungkinan belum terdata secar akurat. Penguatan daya beli diharapkan akan mendorong konsumsi, sehingga pada putaran berikutnya akan memicu sektor produksi untuk bergerak sehingga tidak harus melakukan PHK.
Hal kedua yang bisa dilakukan adalah realisasi PEN dalam bentuk dukungan bagi UMKM juga menjadi faktor yang penting. Pendampingan UMKM setelah mendapat bantuan merupakan keharusan, karena UMKM harus beradaptasi dengan pola ekonomi baru yang serba digital.
Pengenalan QRIS, pengembangan pemasaran digital, dan penyiapan inovasi merupakan tanggung jawab bukan hanya pemerintah namun juga perguruan tinggi. Resesi baru mulai. Seperti marathon dibutuhkan nafas panjang agar bisa bertahan dan resesi tidak berkelanjutan. Bukan hanya tugas pemerintah, namun tugas kita bersama.