BLU Perlu Dipimpin Orang Profesional
”Hendaknya ada persyaratan minimal yang bisa diterima. Jangan SDM abal-abal diterima, hanya karena takut terhadap orang penting tersebut. Tapi saya maklum. Jika penguatan lembaga belum bagus, pasti tidak berani menolak titipan tersebut.”
Djoko Setijowarno, Pengamat Transportasi Unika Soegijapranata
Insiden pemukulan penumpang yang dilakukan kondektur Bus Rapid Transit (BRT) Trans Semarang, Sabtu (30/7) lalu, semakin memperkuat pengelolaan BRT yang tidak profesional. Diduga sebagian besar pegawai BRT tidak direkrut secara profesional. Bahkan, sudah menjadi rahasia umum, sebagian besar pegawai merupakan titipan beberapa pihak yang memiliki posisi penting di lingkungan Pemkot Semarang. Namun tidak diiringi dengan pembinaan Sumber Daya Manusia (SDM) yang baik.
”Hendaknya ada persyaratan minimal yang bisa diterima. Jangan SDM abal-abal diterima, hanya karena takut terhadap orang penting tersebut. Tapi saya maklum. Jika penguatan lembaga belum bagus, pasti tidak berani menolak titipan tersebut,” kata Pengamat Transportasi Unika Soegijapranata, Djoko Setijowarno kepada Jawa Pos Radar Semarang, kemarin.
Jika kondisi tersebut dibiarkan, kata Djoko, insiden pemukulan tersebut bisa terulang lagi pada kesempatan dan pola yang berbeda. Karena itu, manajemen BRT perlu dievaluasi secara menyeluruh. Apalagi, anggaran yang dikucurkan APBD Pemkot Semarang untuk Badan Layanan Umum (BLU) BRT Trans Semarang, hanya untuk operasional lembaga. Masih belum dialokasikan anggaran untuk pembinaan dan evaluasi.
”Penitipan pegawai boleh saja, asal kualitas SDM-nya bisa dididik menjadi tenaga yang berkualitas dan memiliki jiwa melayani masyarakat luas,” katanya.
Inilah saatnya, tandas Djoko, manajemen BRT dievaluasi secara menyeluruh. Djoko usul, BLU BRT Trans Semarang dikelola oleh tenaga profesional. Jangan diserahkan kepada pejabat PNS yang selama ini belum pernah mengelola atau belum memiliki pengalaman mengelola transportasi umum. ”Jika BLU BRT Trans Semarang dikelola kalangan PNS, manajemen coba-coba yang digunakan,” tandas Djoko.
Selain itu, katanya, standar pelayanan minimal (SPM) dan standar operasional prosedur (SOP) bagi pegawai BRT Trans Semarang selama ini masih diabaikan. Sehingga perlu disusun atau meniru SPM dan SOP yang sudah ada, sambil terus disempurnakan. Kementerian Perhubungan (Kemenhub) RI sendiri sudah membuat SPM dan SOP sejak 2012. Seperti Peraturan Menteri (PM) Nomor 27 Tahun 2015 yang merupakan perubahan PM Nomor 10 Tahun 2012, sudah memuat SPM angkutan masal berbasis jalan.
Djoko juga mendorong adanya evaluasi terhadap operator BRT Koridor II jurusan Sisemut Ungaran-Terboyo. Pasalnya, operator koridor II tersebut harusnya dikelola oleh kumpulan pengusaha angkutan, namun dikelola oleh pihak lain.
”Kalau kongsi para pengelola angkot belum memiliki kemampuan, harusnya bisa dilatih dan dibina tentang bisnis dan manajemen transportasi umum. Tapi sepertinya hal itu dihindari Pemkot Semarang,” tandasnya.
Dia yang dulu turut membuat master plan BRT Kota Semarang melalui Balitbangda 2005 tersebut menilai, operasional BRT Trans Semarang ini sudah melenceng dari konsep semula. Di antaranya, penumpang harusnya menggunakan tiket elektronik (e-tiket), namun tetap dipertahankan mengunakan karcis sobekan.
”Kembalikan operator Koridor I dan II ke pengusaha angkot, jika pemkot peduli dengan pengusaha angkot di Semarang yang saat ini kondisinya kembang kempis dan hampir punah. Jangan hanya dimanfaatkan ketika pilkada untuk menempel foto pasangan calon,” tandasnya. (Radarsemarang, 1 Agustus 2016, hal. 1, 11)
Tautan : http://www.radarsemarang.com