Keinginan untuk belajar tentang ilmu politik terpeleset menjadi ilmu hukum. Itulah yang dialami oleh B. Danang Setianto, S.H., LL.M., MIL atau yang akrab disapa Benny. dosen Fakultas Hukum dan Komunikasi Unika Soegijapranata ini menceritakan awal mula bisa terjun ke bidang hukum dimulai saat SMA.
Bermaksud untuk melanjutkan kuliah di jurusan Hubungan Internasional (HI) tetapi disalahartikan oleh guru BP (Bimbingan Penyuluhan) menjadi Hukum Internasional. Tak menyangka diterima, pria yang gemar membaca ini awalnya mengaku terpaksa menerima keadaan itu.
Semakin mengenal lebih jauh mengenai Hukum Internasional, Benny menyadari bahwa ia semakin tertarik dan meyakini keputusannya. Ia bahkan juga percaya bahwa situasi yang dialaminya saat itu adalah untuk kebaikan.
“Everything happens for a reason, pasti ada alasan kenapa saya tiba-tiba di situ, ya sudah saya nikmati saja dan berusaha untuk melakukan yang terbaik,” ujarnya.
Ia pun juga memperdalam pengetahuannya di bidang hukum dengan melanjutkan studi magister di Monash University mengenai hukum lingkungan (environmental law). Ketertarikannya terhadap alam memberikan konsekuensi logis pada kecocokannya untuk belajar mengenai lingkungan.
Selain kesukaannya terhadap alam, Benny juga tertarik pada value yang digarap seseorang. Seperti Anthony de Mello misalnya, cara Anthony menyampaikan kebenaran menggunakan cerita, menginspirasi dirinya untuk mengajar hukum lingkungan dengan menggunakan kisah-kisah yang ada di masyarakat.
Salah satu kisah yang ia temukan adalah mengenai suku di Thailand yang pintar sekali “membakar lahan”, meskipun sebenarnya hal itu bertentangan dengan lingkungan. Ritual yang digunakan agar api tidak bisa keluar dari daerah yang sudah ditetapkan, membuat Benny merasa kejadian itu menarik.
Menurutnya, hukum bisa diibaratkan seperti kisah tersebut. Kita tidak bisa melihat hukum hanya dari kata-katanya saja, melainkan cerita di baliknya.
Kisah semacam itulah yang selalu membangkitkan Benny untuk belajar lebih lagi mengenai seluk beluk hukum. Bahkan lebih dari itu ia mengatakan “hal seperti itu membuat saya melihat hukum itu tidak hitam putih. Bukan perkara salah atau benar, tapi kita melihat ada cerita-cerita di baliknya yang harus kita angkat”.
Persoalan ini yang akhirnya menjadikan dirinya tidak mudah melakukan judgment dari suatu peristiwa. Karena seringkali ada hal yang tidak terlihat yang membuat orang tidak mengetahui kondisi sebenarnya.
Lebih lanjut ia bercerita mengenai pengalaman di bidang hukum. Ia merasa senang ketika bisa membela mereka yang tidak bisa dibela–tidak mampu membayar pengacara. Sedangkan pengalaman tak terlupakannya terjadi saat sidang melawan kebijakan Gubernur DKI Jakarta perihal privatisasi air. Menjadi saksi ahli saat itu dan “dikeroyok” oleh 14 pengacara lain, menjadi pengalaman yang selalu ia ingat.
Ketika ditanya mengenai hukum di Indonesia, ia tak ragu untuk menjelaskan mengenai kelemahan dasar Indonesia yang terjebak pada aliran positivisme. Melihat hukum hanya sebuah kata-kata, menjadikan pembuat hukum merasa terbentuknya Undang-Undang bisa menyelesaikan semua masalah.
Berbeda dengan aliran sosiologis yang melihat hukum secara lebih luas. Sosiologis tidak hanya melihat dari aturan yang tertulis. Fokus yang lebih menekankan pada kegunaannya di masyarakat membuat hukum digunakan untuk menegakkan keadilan.
Pengalamannya yang pernah tinggal di beberapa negara dengan sistem hukum yang berbeda, membuat Benny merasa cara suatu negara menegakkan hukum berpengaruh pada terbentuknya kultur di suatu negara.
“Karna dibiasakan penegakannya lebih baik, maka kultur yang terbangun juga lebih baik. Kemudian cara bertindak pun bukan lagi perkara kata-katanya,” ungkap pria yang menyukai klub bola Chelsea ini.
Hal ini dianalogikan seperti manusia yang sejak kecil sudah dibiasakan untuk tidak membuang sampah sembarangan. Namun di Indonesia kultur untuk membuang sampah pada tempatnya tidak kuat, maka saat ingin membuang sampah yang dilihat adalah lingkungan sekitarnya.
Pria yang sedang melanjutkan S3 di Belanda ini mempunyai harapan agar penegakkan hukum di Indonesia tidak terpaku pada aturan tertulis, tetapi lebih memunculkan kultur.
“Kalau kultur hukumnya terbentuk, maka kata-kata dalam Undang-Undang itu hanya memperkuat. Kultur hukum itulah yang membuat Indonesia akan menjadi apa ke depannya nanti,” tutupnya.
*Tulisan di atas dibuat oleh reporter magang KUASAKATACOM Bela, Carol, dan Jonatahan.
Sumber: https://kuasakata.com/read/sosok/25875-benny-setianto-bukan-tentang-salah-atau-benar