Oleh Ridwan Sanjaya
DAMPAK masuknya berbagai bisnis transportasi yang memanfaatkan teknologi seperti Uber dan Grab Taxi tampaknya cukup membuat terpukul para pelaku bisnis transportasi yang ada saat ini. Kemudahan dalam pemesanan, kemudahan dalam melacak posisi kendaraan yang akan mengantar penumpangnya, dan penerapan tarif yang lebih murah dibandingkan layanan sejenis tentunya menggoda konsumen untuk mencoba.
Hal ini tidak seharusnya disikapi dengan perasaan terancam, kalah, atau tertinggal atas keberadaan layanan yang memanfaatkan teknologi informasi. Dalam dunia bisnis, termasuk transportasi, inovasi kompetitor merupakan sesuatu yang wajar dan terus akan berulang.
Dalam salah satu broadcast pesan instan yang bersumber dari nexshark.com diceritakan bahwa pada saat press conference dalam rangka akuisisi Nokia oleh Microsoft, CEO Nokia menyampaikan kalimat terakhimya We don’t do anything wrong, but somehow, we lost. Nokia merasa tidak melakukan suatu kekalahan dalam berbisnis namun pada akhirnya jawara ponsel tersebut kalah oleh persaingan dan diakuisisi Microsoft.
Nokia tampaknya melewatkan kesempatannya dalam belajar mengikuti perkembangan zaman pada saat masih berjaya. Kekalahannya karena gagal mengubah diri dan mengikuti perubahan. Nokia merasa cukup mapan dengan teknologi yang dikembangkan dan luput mengamati perkembangan teknologi yang lebih murah dan lebih menarik Alhasil, teknologi Nokia dianggap kuno, lamban, tidak menarik lagi.
Kekalahan ini sering disebut-sebut berbagai pihak dalam beberapa minggu ini sebagai akibat dari munculnya disruptive innovation yang dikembangkan oleh kompetitor. Konsep disruptive innovation meskipun sudah dikenalkan pada tahun 1995 oleh Clayton M Christense, namun baru digaungkan oleh para pelaku bisnis dalam satu tahun terakhir ini di Indonesia tetapi dengan pemahaman yang salah.
Pencetus istilah tersebut Clayton M Christensen bersama dua rekannya dalam Harvard Business Review akhir tahun 2015 menerangkan bahwa Uber Taxi atau sejenisnya lebih cenderung merupakan sustaining innovation dan bukan tergolong sebagai disruptive innovation karena tidak menciptakan pasar baru dan merupakan penyempurnaan inovasi yang sudah ada, terutama dalam menekan biaya operasional. Karena merupakan inovasi berkelanjutan, tentunya bukan hal yang sulit bagi penyedia layanan yang telah ada saat ini untuk melakukan adaptasi dan mengembangkan kelebihan yang sudah dimiliki sekarang dengan bantuan teknologi. Dengan kemampuan anak bangsa dalam hal teknologi, banyak pihak yang bisa dimintai bantuan atau diajak bekerja sama dalam pengembangan tersebut.
Kejadian serupa juga pemah terjadi pada cerita sukses Air Asia yang mengejutkan banyak pelaku bisnis penerbangan karena berhasil menjual tiketnya hanya melalui internet. Keberhasilannya dalam menekan biaya yang sangat besar berhasil menarik konsumen untuk bersedia berebut melakukan pemesanan tiket bahkan satu tahun sebelumnya.
Terobosan
Harga tiket yang murah merupakan bagian dari keberhasilan Air Asia dalam menghemat biaya yang seharusnya dikeluarkan untuk penyediaan lokasi dalam penjualan tiket, pembiayaan karyawan untuk gerai tiket, dan mengubah berbagai konsep biaya penerbangan menjadi pendapatan tambahan.
Seperti yang kita ketahui bersama, konsep ini akhirnya juga dikuti oleh pelaku bisnis penerbangan lainnya baik sebagai tambahan jalur pelayanan maupun sebagai divisi baru penerbangan murah. Sehingga saat ini konsumen bisa memilih layanan dengan konsep lama atau nyaman dengan jenis layanan sebelumnya.
Hal ini tentunya dapat menginspirasi perusahaan taksi untuk mempunyai kisah sukses dalam mengadaptasi Teknologi informasi seperti dalam cerita AirAsia di atas atau berakhir dengan kekalahan karena terlambat belajar seperti dalam cerita Nokia.
Banyak terobosan yang justru hanya bisa dilakukan oleh perusahaan taksi yang telah ada saat ini untuk menyikapi perkembangan dan inovasi jasa layanan transportasi yang berkembang di negeri ini. Alih-alih melakukan demo dan menciptakan kesan dizalimi oleh layanan transportasi jenis baru yang sedang menarik perhatian secara cepat akhir-akhir ini.
Kelebihan yang telah dimiliki seperti image taksi yang aman, jujur, dan sopan, beberapa perusahaan taksi tentunya dapat menjadikannya sebagai modal yang lebih baik ketika menyandingkannya dengan teknologi informasi.
Dengan pengalaman yang lama serta pemahaman yang jauh lebih dalam atas statistik penumpang, jam-jam sepi, bahkan daerah-daerah potensial dari data operasi yang dimiliki selama ini, sebetulnya perusahaan taksi incumbent dapat menerapkan strategi penentuan tarif yang fleksibel ketika gerbang pembayaran digital juga terintegrasi di dalam teknologi informasi.
Teknologi informasi sebetulnya telah lama dipandang sebagai salah satu jalan untuk melakukan inovasi atau pengembangan bisnis. Permintaan pemerintah untuk menghentikan ekspansi layanan transportasi baru berbasis teknologi informasi sepertinya terlihat adil dan bijaksana. Semestinya iklim yang mendorong munculnya inovasi-inovasi baru terutama dalam dunia bisnis dapat diciptakan oleh pemerintah dengan rambu-rambu peraturan. (47)
— Dr Ridwan Sanjaya,
dosen Program Studi Sistem Informasi
Fakultas Ilmu Komputer Unika
Tautan : http://berita.suaramerdeka.com