Belum lama ini, saya melakukan perjalanan ke Kota Broome, Australia, karena ada undangan kegiatan konferensi tahunan anggota Association of Southeast and East Asian Catholic College and Universities (ASEACCU) oleh University of Notre Dame.
Universitas yang mempunyai kampus di Sydney, Fremantle and Broome ini melanjutkan tradisi tuan rumah pertemuan tahunan yang tahun sebelumnya bertempat di Unika Soegijapranata. Konferensi yang diikuti oleh pimpinan perguruan tinggi Asia Tenggara, Asia Timur, dan Australia ini diselenggarakan di jantung Wilayah Kimberly di bagian utara Australia Barat mulai 23 sampai 27 Agustus 2016. Selain pimpinan perguruan tinggi, beberapa mahasiswa juga mewakili masing-masing perguruan tinggi dalam kegiatan student campyang diselenggarakan dua hari lebih awal. Sebelum menuju ke Broome, kami sempat singgah ke Perth yang merupakan salah satu hub penerbangan penting di Australia.
Belum ada penerbangan yang langsung dari Indonesia ke Broome sehingga untuk menuju ke sana harus memilih jalur melalui Perth atau Darwin. Namun karena penerbangan terbanyak ke Broome berasal dari Perth, maka lebih mudah bagi kami dalam mengatur perjalanan jika memilih melalui Perth. Setiba di Broome International Airport, kami tidak menemukan kesibukan penerbangan yang berarti. Bahkan cenderung bisa dikatakan cukup sepi sebagai sebuah bandar udara internasional. Meskipun begitu, Broome International Airport termasuk dalam 20 bandar udara tersibuk di Australia.
Secara fisik, bandar udara internasional di Semarang terbilang lebih besar dan lebih mewah. Namun secara iklim, kota ini tidak jauh berbeda dari Semarang, baik dari suhu udara maupun dari sisi musim. Hal yang sama kami lihat di sepanjang perjalanan menuju ke hotel. Tidak banyak mobil yang berlalu lalang di jalanan. Sesekali kami melihat satu dua orang sedang berjalan di jalur untuk pedestrian.
Suasana ini pernah saya rasakan saat sempat tinggal di perumahan baru yang sebagian besar pemiliknya bekerja kantoran, sehingga pada siang hari terasa lenggang. Namun dari sisi kebersihan lingkungan, sepanjang perjalanan yang kami lalui terlihat sangat terjaga.
Pemandangan pantai dan laut yang sempat kami lewati juga terlihat bersih dan indah. Hutan mangrove juga tampak terawat dan dikelola dengan baik, sehingga mengundang kami untuk melihat ke sana. Kami menggali rasa ingin tahu keistimewaan Broome yang sebenarnya, di tengah-tengah suasana sepi di kota ini. Namun karena acara segera dimulai, kami hanya bisa melihat pantai di sekitar penginapan.
Koleksi Buaya
Tampaknya Broome dengan sejarahnya yang panjang dalam industri mutiara telah menjadikan kota ini sebagai pusat pertemuan banyak bangsa. Bangsa Jepang, Tiongkok, Malaysia, Filipina, dan Indonesia berkontribusi dalam kekayaan multikultural di sana. Kota ini terlihat lebih ramah bagi masyarakat asli.
Bahkan dalam beberapa acara, pemuka-pemuka Aborigin yang merupakan keturunan dari Tiongkok dan Malaysia menjadi pembicara penting di sana. Kota yang terkenal dengan industri mutiaranya ini ternyata memiliki berbagai pantai yang indah dengan karang-karang merahnya, salah satunya adalah Gantheamue Point. Pada hari terakhir, peserta konferensi sengaja diajak oleh panitia untuk melihat-lihat bagian terindah dari kota ini. Tampak penduduk dengan binatang peliharaannya duduk bersantai dan bermain di sebelah karavan yang diparkirkan di hamparan pasir pantai yang lembut.
Di sana juga terdapat jejak dinosaurus yang berusia 130 juta tahun. Tempat wisata lainnya adalah Malcolm Douglas Crocodile Park yang menampilkan koleksi buaya air tawar, air asin, dan jenis aligator Amerika. Pengunjung diberikan kesempatan oleh sang pawang untuk memegang anak buaya. Selain itu, aktivitas pawang dalam memberi makan buaya menjadi salah satu atraksi yang menegangkan. Selain buaya, juga dikenalkan kanguru, walabi, dingo, dan beberapa burung setempat.
Pecinan merupakan daerah utama perbelanjaan di Broome. Selain pusat pertokoan, terdapat juga penjualan suvenir dan ruang pamer mutiara. Bagi Anda pecinta mutiara, terdapat berbagai pilihan kualitas dan harga mutiara yang dapat dibeli di daerah tersebut.
Di lingkungan yang sama, terdapat Streeter’s Jetty yang aslinya merupakan tambatan kapal layar untuk para petani mutiara, namun saat ini menjadi tempat untuk melihat kumpulan mangrove yang menjadi lebat. Bagian akhir dari perjalanan adalah kunjungan ke pemakaman Broome yang terkenal. Terdapat pemakaman orang-orang Jepang yang pernah terlibat dalam industri mutiara di sana pada awal tahun 1900 serta pemakaman multikultural di sebelah pemakaman Jepang. Salah satu peserta dari Jepang mengatakan, tulisan pada nisan menceritakan bahwa rata-rata dari mereka meninggal pada 1911 ketika terjadi bencana angin topan.
Orang-orang Jepang memang tidak terlepas dari perkembangan industri mutiara di sana. Meskipun kota kecil dan sederhana, tampaknya berbagai potensi wisata di Broome dirawat dengan baik berdampingan dengan fasilitas umum yang lengkap tersedia untuk masyarakatnya. Universitas Notre Dame menjadi salah satu bukti fasilitas yang lengkap di sebuah kota kecil. Kota ini terasa sangat menarik bagi mereka yang menyukai suasana damai dan hendak menjauh sejenak dari kebisingan. (Suara Merdeka, 4 September 2016, hal.17, http://berita.suaramerdeka.com)
DKV SCU Bicara Strategi Komunikasi Visual, Tekankan Pendekatan Etika dalam Proses Kreatif
Menggandeng PT Tiki Jalur Nugraha Ekakurir (JNE Express), Program Studi