- Oleh Krisprantono
PERKEMBANGANsejarah Kota Semarang dimulai dari garis pantai utara Jawa dan selalu terhubung dengan kondisi geografis pantai rendah dan landai di utara kota yang hijau subur, berbukit dan pegunungan di selatan.
Pelabuhan adalah awal dari perubahan dan perkembangan kota pesisir. Kekuatan pemerintah dan modal mulai membangun pelabuhan yang berdampak besar terhadap perkembangan perdagangan. Sejak abad ke-17 Semarang dikuasai Kerajaan Mataram. Ketika VOC datang dan menguasai Semarang, secara bertahap pemerintah memindah pelabuhan dari Mangkang ke Groete Boom atau Boom Lama (di Kampung Melayu Semarang ada Pasar Boom Lama) di akhir Kali Semarang.
Pada abad ke-17 dibangun pelabuhan baru, Havenkanaal, dengan membangun kanal baru Kalibaru abad ke-19. Pada abad ke-20 setelah merdeka, Pelabuhan Semarang di bawah pemerintahan Indonesia. Sungai utama dan besar di Semarang adalah Sungai Kaligarang dan Sungai Banjirkanal. Di satu titik Sungai Kaligarang di Simongan, orang-orang yang membangun Sungai Semarang dari pedalaman kota ke laut. Setelah Sungai Semarang menjadi sistem transportasi, kawasan di sepanjang sungai berangsur-angsur jadi permukiman. Pasar terbentuk karena ada permukiman nelayan, pelabuhan, dan Kali Semarang.
Pasar pertama adalah Pasar Ngilir di dekat ujung Kali Semarang yang dibangun abad ke-16 di Kampung Melayu. Sejak abad ke-15 sudah terbentuk permukiman lain di Bubakan (Jurnatan) dan Pekojan di timurlaut Semarang. Kiai Ageng Pandanaran memperluas kepercayaan umat Islam di Semarang dengan mendirikan permukiman di Bubakan. Putra Kiai Ageng Pandanaran (Kiai Ageng Pandanaran II) kemudian jadi bupati pertama di Semarang di bawah Kerajaan Demak.
Kawasan sekitar Kauman jadi pusat pemerintahan tradisional Kabupaten Semarang dengan alunalun kota dan masjid utama, Masjid Agung Kauman. Di tengah Kali Semarang dekat Kampung Melayu dan Kauman, karena ada enam pasar di Kampung Melayu dan sekitar Kampung Kauman, dibangunlah pelabuhan kota Sleko di depan Kota Lama. Pelabuhan itu jadi tempat bagi petani dan nelayan menurunkan ikan, sayuran, dan barang lain untuk diperdagangkan di Pasar Johar Lama, Pasar Pedamaran, Pasar Beteng, Pasar Jurnatan, dan Pasar Pekojan yang semula berada di sepanjang Kali Semarang. Kampung Kauman pun jadi salah satu pusat perdagangan di Semarang selain Pecinan.
Kedatangan Belanda pada 1708 ke Semarang lebih dulu untuk berdagang. Namun secara bertahap memberlakukan perdagangan monopoli dan terakhir mendirikan pemerintahan. Itu mengubah arah sejarah Semarang dari kota tradisional ke modern. Kota tradisional berkembang alami dengan pusat kota berupa permukiman etnis berbeda yang tinggal bersama. Namun di bawah VOC, secara bertahap dipisahkan dalam kelompok etnis sehingga jika terjadi kerusuhan mudah mengatasi. Pertama, VOC membangun benteng militer pada 1705 di ujung Sungai Semarang.
Itu sebagai strategi pertahanan dan menyelamatkan aktivitas perdagangan di pelabuhan. Pada 1741 terjadi kerusuhan China di Batavia dan Semarang. Pemberontakan Tionghoa didukung orang Jawa yang tak menyukai VOC yang menguntungkan pedagang Eropa dan Belanda. Didukung pasukan militer dari Batavia, VOC mampu mengatasi pemberontakan. Pada tahun ini, untuk menyelamatkan kota, mereka membangun benteng kota (kastil) dengan dinding di sekeliling berupa lima kait yang menghubungkan benteng dengan nama Benteng Fifjhoek. Sebagai konsekuensi dari kerusuhan, VOC mengharuskan penduduk Tionghoa di Semarang tinggal di kamp konsentrasi Pecinan di selatan permukiman Belanda.
Mereka membangun pos militer untuk menjaga orang Tionghoa di Pecinan. Orang China harus menunjukkan kartu pas di pos militer setiap kali datang dan pergi. Belanda membawa revolusi industri dengan menghadirkan kereta api. Semarang menjadi kota modern. Angkutan kereta api mengubah gaya hidup masyarakat dari masyarakat agraris ke industri.
Perkembangan fasilitas kota, terutama sistem trem dan pengembangan bangunan dari stasiun kereta, perumahan, dan kantor monumental di sepanjang jalan utama Jalan Bodjong dan Jalan Pontjol, membuat Semarang menjadi salah satu kota modis di Jawa. Akhir abad ke-19 Semarang jadi gemeente (kota praja), yang mungkin bisa mengatasi kemacetan. Orang Tionghoa tinggal di kompleks padat, Pecinan, di sepanjang sungai. Orang Tionghoa dengan bisnisnya cenderung mendekati orang Belanda. Orang Arab dengan sistem kehidupan dan ekonomi religius cenderung tinggal di sekitar masjid di pusat kota. Etnis Jawa dan etnis lain hidup kembali di kampung, desa-desa di kota-kota, tersembunyi di balik pepohonan sepanjang sungai.(63)
– Dr Ir Krisprantono, staf pengajar Fakultas Arsitektur dan Desain Unika Soegijapranata Semarang
►Suara Merdeka 11 Maret 2018 hal. 14, http://www.suaramerdeka.com