Era digital dan ditambah dengan kebebasan informasi, justru membuat kohesifitas masyarakat semakin luntur dan jauh dari nilai-nilai yang sudah ada. Media sosial yang seharusnya merekatkan ikatan dan mengkampanyekan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, justru menjadi alat saling cerca, olok, menjatuhkan dan serang antar anak bangsa.
Perbedaan pendapat, pendirian, sikap dan lainnya yang menjadi keindahan Indonesia dan saling mengisi satu sama lain, justru menjadi bahan yang dipertentangkan melalui media sosial. Perilaku melanggar etika dan hukum yang seharusnya tidak layak dipertontonkan, menjadi tontonan yang lumrah di media sosial karena viral.
Hakim Konstitusi di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Prof Dr Arief Hidayat SH MS memaparkan, media sosial saat ini menjadi kekuatan keenam pilar demokrasi di mana mempunyai pengaruh dalam setiap kebijakan negara. Selain mempunyai warga negara sendiri di dunia maya yang disebut ‘netizen.’ Media sosial juga mempunyai ruang virtual publik yang sangat memengaruhi kebijakan negara dan masyarakat.
“Pada era pandemi Covid-19 saat ini, masyarakat lebih banyak membaca melalui media sosial dan itu dipercaya. Padahal banyak sekali yang tidak sesuai dengan nilai-nilai bangsa Indonesia seperti yang tercermin dalam Pancasila,” kata Prof Arief Hidayat, saat press conference secara virtual, Rabu (5/8).
Pancasila saat ini dianggap sebagai retorika belaka, tidak diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Kondisi ini mengkhawatirkan bagi keutuhan Negara Republik Indonesia sehingga menjadi tantangan bagi perguruan tinggi bagaimana mengajarkan kepada netizen, mengisi ruang virtual dengan konten yang sesuai dengan nilai-nilai, etika, hukum, budi pekerti, membangun karakter tidak hanya individu tetapi juga sebagai bangsa.
“Saya menjadi teringat Bung Karno, setelah merdeka lalu apa yang akan dikerjakan. Founding Fathers menyebut nation character building, sehingga tidak hanya individu saja yang dibangun tetapi juga bangsa,” tuturnya.
Prof Dr Arief Hidayat SH MS akan menyampaikan orasi ilmiah “Peran Perguruan Tinggi dalam Membangun Integritas Kemanusiaan dan Kebangsaan Indonesia” dalam peringatan Dies Natalis Unika Soegijapranata ke-38, yang akan diselenggarakan secara daring, Kamis (6/8).
Rektor Unika Soegijapranata Prof Dr Ridwan Sanjaya SE SKom MS IEC menyatakan, sejak awal mahasiswa masuk di universitasnya ditanamkan nilai-nilai kejujuran, nilai-nilai agar tidak mudah reaktif terhadap informasi yang belum diketahui kebenarannya. Memang diakuinya, untuk menuju ke sana butuh suatu kondisi di mana pengguna sudah pernah mencoba menggunakannya.
“Softskill tersebut sudah diberikan dalam setiap tahapan pelatihan, mulai mahasiswa baru masuk di Unika Soegijapranata dengan mengikuti ATGW (Arising The Greatful Winner),” tambahnya.
Guru besar Sistem Informasi Unika Soegijapranata itu melihat, bangsa Indonesia belum matang dalam mengenali dan menggunakan dunia virtual alias masih dalam tahap coba-coba. Sayangnya, seperti disampaikan oleh Prof Arief tidak diimbangi dengan pendidikan karakter, dan belum menyentuh sampai ke arah sana.
“Kalau pun disentuh masih dalam tataran offline belum sampai ke dunia baru. Pendidikan sejak dini penting karena sejak kecil anak-anak sudah mengenal gadget dan mengakses kata-kata di sana termasuk yang tidak pantas,” tutur Prof Ridwan.
Jika mereka sambungnya, diberi pendidikan sejak dini mengenai pemahaman nilai-nilai maka akan masuk dan tidak terpengaruh kala menjumpai akun anonim, informasi tanpa sumber dan judul-judul yang menjebak maka tidak akan terpengaruh. Dengan pendidikan sejak dini maka hal-hal yang dikhawatirkan sudah ada tamengnya.
Sayangnya hal-hal ini sering dianggap tidak penting bahkan seringkali offline dipandang paling utama dan online tidak baik. Masyarakat masih memandang offline dan online tidak setara, padahal tidak bisa lagi mengatakan daring sebagai level kedua.