Program Tax Amnesty masih minim peminat. Sejak Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak disahkan akhir Juni kemarin, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kanwil Jawa Tengah 1 baru menerima 81 pelaporan.
Pemeriksa Pajak DJP Kanwil Jateng I, Halim mengatakan, masih banyak WP yang wait and see atau lebih dulu melakukan perhitungan matang sebelum melapor. Diperkirakan lonjakan pengajuan akan terjadi di saat injury time atau batas waktu berakhirnya program tax amnesti.
Ia mengatakan target pendapatan pajak dari tax amnesty secara nasional mencapai Rp 165 triliun. Khususnya untuk Jawa Tengah tidak ada angka secara pasti, namun berdasarkan data, sebanyak 70 persen perputaran yang berada di Jakarta sehingga ibu kota diyakini menyumbang kontribusi terbesar.
Tax Amnesty kembali digalakkan oleh pemerintah melalui UU 11 tahun 2016. Hal yang menjadi pemicu adalah tingginya pertumbuhan kelas menengah di Indonesia yang tidak dibarengi dengan kesadaran pajak. Dari 27 juta NPWP orang pribadi hanya 10 juta yang lapor dan hanya 100 ribu yang bayar.
“Berdasarkan data bank dunia tahun 2010 pertumbuhan masyarakat kelas menengah di tanah air mencapai 134 juta atau hampir setengah dari jumlah penduduk Indonesia. Konsumsi per bulan lebih dari Rp 3 juta itu kesimpulannya banyak orang mampu,” imbuhnya.
Prof. Dr. Andreas Lako Ekonom Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata memaparkan, ada sekitar 2.000 perusahaan berkategori Penanaman Modal Asing (PMA), yang tidak membayar pajak dalam 10 tahun terakhir. Perusahaan tersebut terbagi pada banyak sektor dengan kerugian negara ditaksir Rp500 triliun. Dengan uang sebesar itu mestinya dana infrastruktur bisa ditutup.
Dari anggaran belanja terlihat jelas bahwa program Presiden RI, Joko Widodo sangat strategis. Anggaran infrastruktur naik 100 persen dari Rp150 Triliun di tahun 2015 menjadi Rp300 Triliun pada 2016. Begitu juga di sektor kedaulatan pangan dari Rp70 Tiliun di tahun 2015 menjadi Rp120 Trilin pada 2016.
Pertanyaannya adalah dana tersebut dari mana? Presiden selama ini mengutak atik dari sisi efisiensi. Lalu kemudian muncullah amnesty pajak. Nampaknya Jokowi berfikir prakmatis melihat sumber itu dari amnesty pajak, walau pun berisiko tinggi bagi dirinya apabila gagal.
Kegagalan amnesty pajak di India, Filipina diakibatkan karena negara tersebut tidak transparansi dan akuntabilitas dalam mengelola dana tax amnesty. Berbeda dibanding Afrika Selatan yang sukses menjalankan program tersebut, karena mereka mengomongkan siapa saja yang telah membayar dan berapa jumlahnya.
Sehingga dengan begitu masyarakat juga bisa melakukan pengawasan dan program tax amnesty berjalan adil. Masyarakat bisa menyampaikan apabila wajib pajak tersebut tidak melaporkan data secara benar. Namun sayangnya ini yang tida ada di tempat kita, Indonesia.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Tengah, Frans Kongi menyatakan kebijakan mengenai tax amnesty atau pengampunan pajak akan mendorong perkembangan industri lokal. Ia berharap kebijakan tax amnesty dapat memberikan dampak seperti penurunan suku bunga kredit perbankan.
“Lewat tax amnesty artinya, ada dana masuk ke perbankan RI dalam jumlah banyak. Sehingga, biaya operasional perbankan bisa semakin murah, ujung-ujungnya bunga kredit bisa semakin turun,” imbuhnya.
Menurut Frans, saat ini bunga kredit perbankan di Indonesia terlalu memberatkan, yakni rata-rata di atas 10 persen. Berbeda dengan perbankan di luar negeri yang hanya memberikan bunga 1-2 persen.
Terkait dengan industri, dikatakannya sektor yang diharapkan mampu berkembang dengan diterapkannya kebijakan tersebut yaitu industri padat karya seperti, garmen atau tekstil. “Industri tekstil yang ada di Jawa Tengah cukup banyak, bahkan tekstil merupakan salah satu komoditas dengan nilai ekspor terbesar,” katanya.
Kepala Divisi Advisory Ekonomi Keuangan Daerah Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jawa Tengah, Minot Purwahono meyakini tax amnesty akan membuat perbankan tanah air mengalami banjir likuidutas keuangan. Sumber likuiditas ini berasal dari dana para wijib pajak yang dibawa pulang (repatriasi) ke Indonesia.
Menurut Minot, aliran likuiditas itu akan dimanfaatkan untuk mendukung APBN dalam membiayai proyek infrastruktur.
Tax Amnesty juga dapat dikatakan sebagai kebijakan pemadam kebakaran yang disebabkan oleh dana ekpor masa lalu yang ditahan di luar negeri. Artinya kebijakan ini mencoba mengatasi persoalan yang timbul dari kebijakan dulu, yaitu rezim devisa bebas.
“BI mencatat divisa hasil ekspor tengarai hampir 80 persen dana hasil expor parkirnya di luar negeri. Sementara Indonesia perlu cadangan divisia sebagai indikator kematangan ekonomi dan meyakinkan investor,” imbuhnya.
Tokoh-tokoh tersebut dihadirkan Tribun Jateng dalam acara TRIBUN FORUM yang digelar di Kantor Redaksi Tribun Jateng, Jumat 12 Agustus 2016 dengan topik yang lagi hangat TAX AMNESTY.
Tautan : http://jateng.tribunnews.com
Serah Terima Jabatan Ormawa FHK SCU
Fakultas Hukum dan Komunikasi (FHK) Soegijapranata Catholic University (SCU) melaksanakan Serah