Kepala Laboratorium Transportasi Unika Soegijapranata Semarang Djoko Setijowarno merasa pemerintah setempat tidak perlu membangun jalur penyelamat di ruas sekitar turunan Lemahabang Bergas Kabupaten Semarang.
Justru, yang menurutnya sangat penting adalah penguatan penegakan hukum terhadap para pemilik atau perusahaan armada khususnya truk-truk yang selama ini digunakan untuk muatan berat. Itu yang semestinya menjadi prioritas utama bukan pendirian jalur penyelamat.
“Rem blong bukan terjadi seketika. Tetapi sudah diketahui sejak kendaraan seperti truk saat keluar garasi dan memuat barang. Maksudnya, di sinilah fungsi tanggungjawab manajemen perusahaan untuk memastikan kendaraan layak dioperasikan atau tidaknya,” jelas Djoko kepada Tribun Jateng, Senin (8/5/2017).
Dia mengutarakan, sejauh ini pihaknya belum melihat adanya keseriusan pemerintah melalui dinas terkait dalam pemantauan serta penegakan hukum secara nyata. Selama ini, ketika ada kecelakaan lalu lintas yang pemicunya dugaan rem blong, objek yang selalu disalahkan adalah sang sopir yang mengemudikannya.
“Kecelakaan akibat dugaan rem blong itu berbeda dengan yang cara mengemudikannya ugal-ugalan. Jadi sangat salah apabila yang harus bertanggungjawab adalah sopir. Yang semestinya disalahkan dan dijerat hukuman adalah pemilik usaha atau perusahaan armadanya. Ini yang terkadang belum dipahami,” katanya.
Menurutnya, apabila pemerintah dapat serius menegakkan hukum dan ada pengusaha angkutan yang peroleh hukuman (vonis), dapat dipastikan pengusaha yang lainnya akan semakin berhati-hati dan secara bertahap akan serius pula dalam mengecek kondisi armada sebelum keluar garasi.
“Berkait hal tersebut sebenarnya sudah ada di Undang-Undang Lalu Lintas Angkutan Jalan (LLAJ). Tinggal benarkah sudah diterapkan atau belum. Menurut kami, saat ini belum sepenuhnya. Dan sekali lagi, tidak perlu mendirikan jalur penyelamat. Yang terpenting adalah pengawasan serius terhadap pemilik atau perusahaan armada angkutannya,” tegasnya.