Fakultas Aristektur dan Desain (FAD) Universitas Khatolik (Unika) Soegijapranata Semarang, menggelar pameran Asmat dan Suroban di Gedung Thomas Aquinas, Senin (17/10/2016).
Dalam keterangan pers kepada Tribun Jateng, Ketua Panitia Acara Christophorus Koesmartadi menjelaskan Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki banyak gunung berapi merupakan daerah yang punya potensi gempa cukup tinggi.
“Karena tingginya potensi gempa ini banyak rumah adat di Indonesia yang didesain tahan gempa dan getaran sehingga meminimalisir kerusakan saat terjadi gempa dahsyat, salah satunya adalah rumah adat suku Asmat , Suroba, dan rumah Hanoi,” terangnya seperti tertulis dalam press release.
Ia mengatakan jika kedua arsitektur rumah ini bisa diadaptasi untuk rancang bangunan di Indonesia, terlebih didaerah yang memiliki potensi gempa yang cukup tinggi.
“Jika dianalisa dan diteliti lagi, bisa diadaptasikan dirancang bangunan di Indonesia. Ciri khasnya tidak memakai tiang pancang, sehingga menjadi bangunan yang tahan gempa,” katanya.
Menurut dirinya, rumah adat tersebut dibangun dengan menggunakan ilmu leluhur yang ramah terhadap lingkungan. Ia mencontohkan rumah suku Asmat yang menggunakan bahan dasar kayu dibuat dengan teknik ikat tanpa menggunakan paku. Saat gempa, rumah-rumah tersebut tidak akan roboh, layaknya rumah anti gempa yang diciptakan Jepang.
“Rumah-rumah di Indonesia menggunakan pondasi dan tiang pancang, kalau terkena getaran pasti akan rubuh. Jika ilmu tentang arsitektur rumah adat dipakai untuk rumah ataupun gedung baru dipastikan Indonesia punya rumah anti gempa sendiri tanpa harus meniru negara lain,” ujarnya.
Ia menjelaskan fenomena rumah adat asmat dan hanoi akan menjadi fenomena dan incaran para arsitektur profesional. Terlebih teknologi ini ramah lingkungan dan bisa mencetak arsitektur yang juga ramah terhadap lingkungan ketika membuat rancang bangunan baru.
” Arsitektur sekarang banyak memakai paku bumi ataupun bahan-bahan yang tidak ramah lingkungan, jika dikembangkan tentu keseimbangan terhadap lingkungan sekitar,” tuturnya.
Valeri, salah satu mahasiswa Unika yang langsung terjun ke pedalaman suku Asmat untuk memperlajari rancang bangunan rumah adat suku Asmat, menjelaskan jika rumah adat suku Asmat memiliki panjang sekitar 60 meter yang terbuat dari bahan dasdar kayu. Untuk membuat rumah, dilakukan dengan teknik ikatan dengan sistem gotong royong.
” Gunanya untuk bermusyawarah, fungsinya pun berbeda-beda ada bagian rumah yang disebut tungku yang fungsinya mengawetkan kayu agar tidak rusak dan bisa bertahan hingga puluhan tahun,” jelasnya.
Valeri menjelaskan jika ia menampilkan tiga bagian rumah adat milik suku Amat diantaranya,tungku, tangga, dan salah satu bagian atau potongan rumah dengan skala 1 : 5.
“Disini kami coba menjelaskan keunikan dan bangunan adat yang kami pelajari agar bisa dilihat mahasiswa lainnya,” pungkasnya.
( http://jateng.tribunnews.com )
DKV SCU Bicara Strategi Komunikasi Visual, Tekankan Pendekatan Etika dalam Proses Kreatif
Menggandeng PT Tiki Jalur Nugraha Ekakurir (JNE Express), Program Studi