Seruan global ”Our planet, our health” ibarat pendulum yang berayun dari arah kesehatan antroposentris ke ekosentris. Kacamata ekosentris melihat bahwa manusia dan semua bentuk kehidupan bagian yang saling berhubungan .
Tanggal 7 April 2022 diperingati sebagai Hari Kesehatan Dunia sekaligus hari lahir Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di Geneva, 74 tahun silam.
Peringatan Hari Kesehatan Dunia kali ini mengangkat tema ”Our planet, our health”. Hemat penulis, tema ini menarik karena, pada bulan yang sama, kita juga memperingati Hari Bumi, tepatnya 22 April. Dengan demikian, tema ”Our planet, our health” menjadi penting untuk kita cermati secara saksama.
Sekilas, tema ini lebih merupakan seruan kesadaran bersama bahwa untuk tetap sehat manusia membutuhkan ekosistem planet Bumi yang sehat pula. Namun, untuk konteks Indonesia, apa benar demikian? Untuk menjawabnya, mari kita mencermati kiprah Indonesia dalam kancah kesehatan global.
Meskipun baru bergabung tahun 1950, kontribusi Indonesia terbilang cukup membanggakan.
Kiprah Indonesia
Kiprah Indonesia di kesehatan global tentu tidak terlepas dari posisi Indonesia sebagai anggota WHO yang tergabung dalam South East Asia Regional (SEARO). Meskipun baru bergabung tahun 1950, kontribusi Indonesia terbilang cukup membanggakan.
Indonesia termasuk yang paling aktif memerangi musuh utama WHO kala itu, seperti malaria, TBC, filariasis, cacar, malanutrisi, dan kematian ibu.
Tahun 1958-1967, bersama Myanmar dan Sri Lanka, Indonesia gencar menjalankan program eradikasi malaria melalui Komando Operasi Pemberantasan Malaria (Kopem). Memasuki era 1968-1977, lahirnya slogan ”Health for All by the Year 2000” sebagai paradigma baru pembangunan kesehatan menjadi momentum istimewa bagi Indonesia.
Kala itu, pengobatan tradisional mulai diperhatikan, termasuk jamu tradisional yang mulai dikenal masyarakat dunia. Periode 1978-1987, Konferensi Alma Ata di Kazakhstan melahirkan konsep primary health care (PHC).
Konsep ini bertujuan menjamin masyarakat bisa mendapatkan perawatan kesehatan ketika membutuhkan. Indonesia memprakarsai PHC melalui terbentuknya puskesmas.
Tahun 1988-1997, Jakarta dipercaya menjadi tuan rumah Konferensi Internasional Ke-4 tentang Promosi Kesehatan tahun 1997. Dari konferensi inilah lahir komitmen bersama penyelenggaraan upaya kesehatan melalui pendekatan komprehensif dan kemitraan.
Periode 1998-2018, Indonesia turut menyukseskan Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) dan ikut serta meratifikasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Selain itu, rekomendasi Universal Health Coverage untuk keadilan kesehatan (health equity) direspons Indonesia melalui regulasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Tahun 2018 hingga sekarang, bersama dengan 217 negara, Indonesia gencar menyelenggarakan vaksinasi Covid-19 dan mendukung upaya global untuk penanggulangan krisis kesehatan yang dipelopori WHO.
PR selanjutnya
Rekam jejak kontribusi nyata Indonesia terhadap kesehatan global sejak 1950 hingga sekarang ternyata tidak serta-merta membuat Indonesia bebas dari masalah kesehatan. Sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia, isu perubahan iklim dan kerusakan lingkungan menambah daftar pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan.
Pekerjaan rumah yang pertama adalah Indonesia saat ini termasuk dalam urutan ke-20 predikat negara terpolusi di dunia. Rata-rata usia harapan hidup orang Indonesia berkurang dua tahun akibat polusi udara.
Polusi akibat kebakaran hutan menyumbang penderita gangguan pernapasan sebesar 71,4 persen dan penurunan fungsi paru-paru. Tidak hanya itu, polusi udara juga menyebabkan kematian ibu dan anak-anak. Paparan terhadap polusi udara di rumah tangga menyumbang 45 persen dari total kematian anak di Indonesia (WHO, 2012).
Juga diprediksi kematian prematur akibat polusi udara di Indonesia akan terus meningkat menjadi 90.000 per tahun hingga 2030, terutama pada perempuan dan anak-anak.
Kedua, musim panas berkepanjangan akibat perubahan iklim membuat vektor pembawa patogen, seperti nyamuk, semakin gencar menginfeksi manusia. Peningkatan suhu rata-rata harian sekitar 0,95 derajat celsius sejak tahun 2002 telah menjadi ancaman serius.
Alasannya, Indonesia termasuk daerah endemik penyakit tropis, seperti filariasis, malaria, dan demam berdarah (DBD) yang ditularkan lewat nyamuk.
Rekam jejak kontribusi nyata Indonesia terhadap kesehatan global sejak 1950 hingga sekarang ternyata tidak serta-merta membuat Indonesia bebas dari masalah kesehatan.
Perubahan iklim (suhu, kelembaban, dan curah hujan) memengaruhi siklus hidup dan intensitas gigitan nyamuk. Sifat nyamuk yang ektotermik tentu sangat nyaman dengan perubahan suhu karena suhu tubuh nyamuk bergantung pada suhu lingkungan, dan juga akan memengaruhi perilaku nyamuk.
Sebagai contoh Ae aegypti memiliki kecepatan terbang maksimum mencapai 34,1 meter per menit pada suhu 32 derajat celsius dan kelembaban 50 persen. Perilaku ini tentu membuat nyamuk betina dewasa memiliki frekuensi gigitannya semakin sering dan apabila ini tidak terkendali akan mempercepat terjadinya wabah penyakit.
Ketiga, tingkat resistansi antimikroba (antimicrobial Resistance) akibat penggunaan yang tidak tepat, baik di sektor kesehatan maupun sektor pertanian, cukup tinggi. Penggunaan pestisida dan insektisida secara berlebihan dalam jangka panjang meningkatkan resistansi patogen di tanah maupun di air yang kemudian menjadi inang perantara/pembawa penyakit.
Sebagai contoh, siput air tawar menjadi perantara penyakit cacing trematoda usus manusia dan penyakit Schistosomiasis. Selain itu, pengendalian vektor menggunakan bahan kimia telah meningkatkan kekebalan nyamuk Ae aegypti karena resistansi silang pada kelompok insektisida sejenis sehingga memicu kian banyak spesies nyamuk ini di lingkungan kita.
Terakhir, saat ini Indonesia negara ketiga di Asia dengan tingkat deforestasi (penggundulan hutan) tertinggi (21 persen pada 1980-an menjadi 31,5 persen saat ini). Selain meningkatkan potensi bencana alam, deforestasi membuka jalur kontak antara satwa liar, manusia, dan penyakit zoonosis.
Jauh sebelum pandemi korona, para peneliti telah menemukan bahwa satwa seperti kelelawar merupakan inang bagi patogen yang hampir punah akibat deforestasi. Dari 60 spesies virus yang dilaporkan bisa diperantarai oleh kelelawar, sebagian besar telah diketahui menyebabkan penyakit menular pada manusia. Sebagai contoh, deforestasi di negara kita memicu munculnya virus Nipah, lyssa virus, dan patogen lainnya yang masih menjadi pekerjaan rumah selanjutnya.
Memperkuat ”sense of place” kita!
Seruan global ”Our planet, our health” ibarat pendulum yang berayun dari arah kesehatan antroposentris ke ekosentris. Sehat tidak hanya ditentukan oleh bagaimana kita memelihara kebugaran diri kita, tetapi juga cara kita merawat bumi kita sehari-hari.
Kacamata ekosentris melihat bahwa manusia dan semua bentuk kehidupan adalah bagian yang saling berhubungan dalam planet Bumi sehingga keberlanjutan hidup manusia, spesies, dan peradaban bergantung pada keberlangsungan biosfer ini.
Seruan global ”Our planet, our health” ibarat pendulum yang berayun dari arah kesehatan antroposentris ke ekosentris.
Momentum Hari Kesehatan Dunia mari kita pergunakan untuk meningkatkan sense of place dengan lebih memasifkan kampanye kesehatan planet Bumi (planetary health) dan mengakomodasi perspektif ekosentris dalam agenda pembangunan kita.
Selain itu, melalui upaya lintas sektor, kita bisa memperlebar literasi masyarakat terkait isu-isu konservasi keanekaragaman hayati dan adaptasi perubahan iklim, mulai dari lingkungan rumah tangga, rumpun keluarga, sekolah, tempat kerja, sampai pada perumusan kebijakan kesehatan.
Dengan demikian, ”Our planet, our health” adalah metafora yang sederhana, tetapi membuka jalan untuk gerakan baru menyelamatkan keberlangsungan Bumi dan segala isinya.
Selamat Hari Kesehatan Sedunia! Mari menjadi bagian dari gerakan global, menjadi pemengaruh dan pelopor untuk Bumi kita yang lebih sehat.
# https://www.kompas.id/baca/artikel-opini/2022/04/07/hari-kesehatan-dunia-kiprah-dan-pekerjaan-rumah-indonesia
Kompas 8 April 2022, hal. 6