SEMARANG (KRjogja)- Ketua Program Studi (Kaprodi) S2 Magister Hukum Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata Semarang yang juga Koordinator Jaringan Peduli Perempuan dan Anak (JPPA) Jateng Prof Dr Agnes Widanti SH CN mengatakan, selama ini sangat banyak atau bahkan hampir semua perempuan yang mencari keadilan di pengadilan selalu meleset atau dikalahkan oleh sistem hukum. Mereka berjuang mati-matian tetapi para hakim kurang peka, tidak tahu, atau tahu tetapi pura-pura tidak tahu nasib para perempuan pencari keadilan.
Hal tersebut disampaikan Prof Dr Agnes Widanti SH CN saat menerima Karminah, perempuan warga Kota Semarang korban KDRT dari mantan suaminya (warga negara asing) yang menuntut harta gono gini dan biaya pengasuhan 2 anak mereka di kampus Unika, Rabu (24/02/2016).
Karminah justru saat ini dijatuhi hukuman karena balik dilaporkan sebagai pelaku eksploitasi anak sehingga akhirnya Karminah bersama pengacaranya Pho Iwan Salomo SH dari Kantor Advokat Pho Iwan Salomo SH and Partner melakukan banding dan Kasasi ke MA. Saat ini Karminah masih menunggu hasil Kasasi MA dan siap melayangkan langkah PK kalau-kalau dirinya dikalahkan pada putusan kasasi MA.
“Ada 3 hal ketidakadilan saat perempuan memperjuangkan dirinya di peradilan Indonesia. Pertama hukum Indonesia bersifat pallocentris yaitu berpihak dan didominasi laki-laki, termasuk pada UU perkawinan yang condong memihak laki-laki, kedua struktur hukum di Indonesia sangat memihak laki-laki. Hakim biasanya tidak begitu peduli saat minta keterangan dari perempuan dan laki-laki lebih dipercaya di mata hakim.
Ketiga, semua aparat penegak hukum tidak paham masalah jender. Biasanya mereka menafsirkan jender sebagai perbedaan laki dan perempuan (ini kita sebut kodrat sebagai laki dan perempuan), tetapi harusnya lebih pada pemahaman masyarakat terhadap persamaan hak-hak laki-laki dan perempuan” ujar Prof Dr Agnes Widanti.
Kepada Karminah dan pengacaranya, Prof Widanti menyatakan dukungannya untuk memperjuangkan keadilan pada tahapan MA. Tujuannya agar masyarakat Indonesia tahu perempuan Indonesia berani bicara dan tampil di depan untuk meluruskan hukum karena dia awalnya korban KDRT justru dibalik dijatuhi hukuman dengan tuduhan eksploitasi anak.
“Carut marut hukum di Indonesia harus dibenahi supaya lurus dan ini tidak akan tercapai kalau Indonesia masih menggunakan landasan hukum kolonial dimana produk hukum saat ini masih mayoritas berlandaskan hukum kolonial. Harusnya sudah mengacu pada landasan Indonesia sendiri. Hukum pidana misalnya, sudah 20 tahun dalam proses diperbaiki tetapi sampai saat ini belum juga jadi sehingga masih tetap menggunakan acuan yang lama yang kental dengan warisan kolonial.
Ini tidak benar, Indonesia sudah lama merdeka tetapi masih menggunakan landasan hukum tinggalan penjajah Belanda” ujar Prof Widanti. (Sgi)
Tautan : http://krjogja.com