Pembatalan Pergub DKI Jakarta Nomor 195 Tahun 2014 tentang Pembatasan Lalu Lintas Sepeda Motor oleh MA menunjukkan ketidak mengertian dan kesewenangan hakim. Sangat meragukan kemampuan hakim yang memutuskan itu. Dengan kondisi lalu lintas Jakarta seperti sekarang, justru akan semakin membuat buruk image transportasi Jakarta di mata dunia.
Pasal 133 ayat 1 UU 22/2009 tentang LLAJ yang dianggap oleh Hakim MA bertentangan, justru isinya selaras dengan penerapan larangan sepeda motor. Untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan ruang lalu lintas dan mengendalikan pergerakan lalu lintas, diselenggarakan manajemen kebutuhan lalu lintas berdasarkan kriteria; a) perbandingan volume lalu lintas kendaraan bermotor dengan kapasitas jalan, b) ketersediaan jaringan dan pelayanan angkutan umum, dan c) kualitas lingkungan.
Daerah pelarangan sepeda motor juga diberlakukan kebijakan plat kendaraan bermotor ganjil dan genap untuk kendaraan roda empat ke atas. Sudah diberikan bus gratis Bundaran Senayan – Harmoni, dan ada bus bertarif murah Transjakarta koridor Blok M – Harmoni.
Dalam ilmu transportasi ada konsep Transport Demand Management (TDM) sebagai salah satu pemecahan masalah kemacetan lalu lintas. Mendorong orang (push) untuk meninggalkan kendaraan pribadi dengan cara pembatasan, dan menarik orang (pull) untuk menggunakan angkutan umum dalam upaya perbaikan layanan. Upaya mendorong orang untuk meninggalkan itu berupa pelarangan sepeda motor, kebijakan ganjil genap, tarif parkir tinggi, pajak progresif.
Dampak buruk pembangunan yang berorientasi kendaraan bermotor adalah kualitas udara, kebisingan dan getaran, kecelakaan, perubahan iklim global, habitat alam, pembuangan limbah, kemacetan, keamanan energi, keefisienan ekonomi. Yang jelas, dampak buruk dari pembatalan ini, semangat instansi yang terkait transportasi untuk membuat upaya penataan transportasi perkotaan di Indonesia menuju transportasi humanis menurun.
Angka kecelakaan lalu lintas tahun 2016 sebesar 71,3% adalah sepeda motor. Sementara tahun 2012, sepeda motor sebagai penyebab kecelakaan baru 68%.
Jalan Jenderal Sudirman dan Jalan Thamrin sekarang sedang ada pekerjaan pembangunan MRT, sering membuat kemacetan. Apalagi nanti ditambah sepeda motor lagi. Akan semakin tambah semrawut. Transportasi Jakarta akan semakin buruk yang akhirnya citra Jakarta menuju kota transportasi berkelanjutan makin terpuruk.
Di lain sisi, BPTJ sudah membuat Rencana Induk Transportasi Jabodetabek. Salah satu sasarannya adalah sharing penggunaan angkutan umum sebesar 60%.
Upaya pelarangan ini sebenarnya masih bisa diberlakukan lagi, jika Pemprov DKI Jakarta berniat membuat aturan yang baru. Namun, melihat Gubernur DKI Anies Baswedan yang mendukung pembatalan pelarangan ini, sulit rasanya ada aturan baru. Padahal, salah satu kunci keberhasilan penataan transportasi di daerah adalah peran kepala daerah.
Ilmu transportasi mungkin tidak cocok lagi diajarkan di kampus-kampus perguruan tinggi di Indonesia, selama pola pikir hakim sebagai pemutus keadilan kurang mendukung, dan bertindak bijak. Perlu upaya advokasi ke kepala daerah, dan hakim dari kalangan akademisi transportasi, LSM, pejabat instansi berkait transportasi.
Djoko Setijowarno pengamat transportasi dari Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang