Kota Inklusif merupakan konsep untuk menghormati Hak Asasi Manusia (HAM) di tingkat daerah. Wacana tersebut menjadi topik diskusi dalam acara talk show festival HAM 2019. Kegiatan diselenggararakan oleh International NGO Forum on Indonesian Development (INFID). Bekerja sama dengan Universitas Katolik Soegijapranata (Unika). Digelar di gedung Mikael lantai 4 pada Rabu (6/11) lalu.
Salah satu pembicara dari INFID Mugiyanto menuturkan, wujud kota inklusif ramah HAM adalah kota yang pemerintahnya memungkinkan masyarakat berpartisipasi dan mengakses ruang sosial, ekonomi, dan politik secara inklusif.
“Hal tersebut dapat terwujud jika pemerintah menggunakan prinsip-prinsip HAM sebagai acuan dan dasar pembangunan kotanya,” kata Mugiyanto.
INFID sendiri bekerja sama dengan Komnas HAM menawarkan konsep kota inklusif ramah HAM ke berbagai daerah sejak 2014 lalu. Sebagai upaya mengkampanyekan kesadaran dan kepedulian pemerintah pada HAM.
“Seharusnya tidak berbenturan. Sebab yang kami dorong dan tawarkan sebenarnya berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab mereka (pemerintah daerah). Yakni memenuhi, melindungi, dan memerhatikan HAM,” tegasnya.
Menurutnya, Wonosobo adalah kabupaten pertama yang tertarik dan menerima konsep kota inklusif. INFID kemudian melakukan pendampingan pada Pemerintah Kabupaten Wonosobo hingga mereka menyusun Peraturan Daerah (Perda) tentang Wonosobo kota ramah HAM. Wonosobo kini memiliki Komisi HAM daerah yang pembentukannya didasarkan dari Perda tersebut. Perda dan Komisi HAM daerah di Wonosobo menjadi pertama kali yang ada di Indonesia.
Sementara itu, Wakil Rektor IV Unika Soegijapranata Benny Danang Setianto menuturkan, kata inklusivitas memang benar-benar tidak bisa dilepaskan dari HAM. Maka konsep pembangunan kota yang ramah HAM harus lebih menyentuh manusianya, bukan fisiknya.
“Kota ramah HAM tidak menekankan pada pembangunan fisiknya, tetapi pada karakter, interaksi, dan relasi antar manusianya yang harus bersikap inklusif. Tidak ekslusif,” katanya.