Berdasarkan data, sekitar 1.229 ton sampah tiap hari dihasilkan di Kota Semarang. Dari jumlah itu, sekitar 13 persen didominasi sampah plastik.
Berawal dari hal tersebut terlebih dikhawatirkan polusi sampah plastik yang semakin mengancam kehidupan biota laut, Program Pascasarjana dan Magister Lingkungan Perkotaan Unika Soegijapranata Semarang menggelar seminar sekaligus workshop di Gedung Thomas Aquinas Lantai 4 Unika kemarin, Selasa (17/4/2018).
Adapun narasumber-narasumber yang terlibat dalam kegiatan bertajuk Aksi Kolektif Mengurangi Sampah Plastik yang Tidak Terkelola di Kota Semarang itu di antaranya Dosen Teknologi Pangan Unika Soegijapranata Inneke Hantoro.
Lalu Dosen Magister Lingkungan dan Perkotaan Unika Sogijapranata Hotmauli Sidabalok, Kepala Badan Lingkungan Hidup Kota Semarang Gunawan Saptogiri, Koordinator Yayasan Bina Karta Lestari (Bintari) Arief Khristanto, hingga owner PT Mafifood Harjanto Halim.
Dalam keterangan tertulis yang diterima Tribunjateng.com, Rabu (18/4/2018), Gunawan Saptogiri mengutarakan, seluruh sampah yang dihasilkan di Kota Semarang hanya sekitar 1.000 ton per hari atau sekitar 80 persen sampah yang masuk ke tempat pembuangan akhir (TPA).
“Sedangkan sisanya diolah masyarakat seperti pemulung maupun ke bank sampah. Tetapi tidak dimungkiri jika sisa sampah yang dikelola masyarakat itu masih banyak yang dibuang hingga bermuara ke laut,” ucapnya.
Sedangkan, terang Gunawan, dari sekitar 1.00 ton yang diolah TPA, antara 250 hingga 350 ton sampah diolah menjadi pupuk. Dan guna menanggulangi sampah Pemkot Semarang telah bermitra dengan Pemerintah Denmark yakni melalui mengambil gas metana dari sampah yang dihasilkan untuk menjadi energi listrik 0,8 MW.
“Dan di sini –Kota Semarang–, kami akan membangun alat pengubah energi pembakaran sampah menjadi uap (incinerator), yang nantinya dapat mengolah sampah berkapasitas sekitar 1.000 ton hingga menghasilkan listrik sebesar 500 MW,” bebernya.
Menyikapi isu sampah plastik itu, Harjanto Halim pun tidak menampik jika pihak pengusaha juga masih sangat sulit melepas bahan plastik sebagai pengemas makanan karena dari sisi positifnya cukup banyak.
“Tanpa plastik, sebelum makanan sampai di tangan konsumen dapat mudah tercemar dan tentunya biaya produksi akan lebih mahal apabila diganti bahan lain seperti kaca ataupun kaleng. Sedangkan teknologi kemasan terbarukan, masih sangat sensitif terhadap kelembaban udara,” jelasnya.
Namun, Harjanto menyadari hal tersebut adalah bagian dari masalah. Dia maupun pengusaha lainnya juga harus menyediakan solusi salah satunya, Eco-brix. Dari itu, lebih kepada peningkatan pola pikir terhadap plastik yang dihasilkan.
“Eco-brix adalah kegiatan memasukkan sampah plastik ke dalam botol air mineral. Sehingga peredaran sampah itu bisa dihentikan sebelum mencemari dalam bentuk microplastic di laut. Dan usaha itu yang sedang kami lakukan sekaligus sosialisasikan,” tuturnya.