Ikatan Pengusaha Otobus Muda Indonesia menyambut baik langkah pemerintah daerah yang akan melakukan konversi angkutan perkotaan (angkot) menjadi bus.
Ketua Ikatan Pengusaha Otobus Muda Indonesia (IPOMI) Kurnia Lesani Adnan mengatakan, jalan-jalan utama di perkotaan selayaknya memang menggunakan bus sebagai angkutan umum. Dia mengatakan angkot sebaiknya hanya beroperasi di kawasan-kawasan pemukiman.
“Angkot hanya feeder trans line. Harusnya lebih tepat seperti itu,” kata Kurnia, Jakarta, Senin (22/8/2016).
Dia menambahkan kemacetan dan kesemrawutan yang terjadi di jalan raya dapat berkurang dengan adanya konversi angkot menjadi bus.
Kemacetan dan kesemrawutan yang terjadi di jalan raya selama ini, dia mengatakan, salah satunya karena perilaku angkot yang sering berhenti di sembarang tempat dan kapan saja.
Setelah konversi, pemerintah juga harus mengawasi bus-bus tersebut agar perilaku berhenti di sembarang tempat dan kapan saja tidak terulang. Tidak hanya itu, pemerintah juga harus memikirkan mengenai sistem tarif dan pembayaran bus tersebut.
“Idealnya dibayarkan per km untuk public service,” ungkapnya.
Adapun terkait dengan biaya operasional secara keseluruhan, dia menambahkan, operasional bus lebih mahal jika dibandingkan dengan angkot. Hanya saja, imbuhnya, biaya operasional tersebut pasti dapat tertutup jika tingkat keterisian (okupansi) bus tinggi.
Akademisi Universitas Katolik Soegijapranata Semarang Djoko Setijowarno mengatakan konversi tersebut berpotensi menimbulkan gejolak. Oleh karena itu, konversi yang terjadi sebaiknya tidak hanya sebatas fisik kendaraan.
Dia menuturkan pemerintah harus melibatkan sumber daya manusia operator angkot dalam bus yang akan dioperasikan. Pengemudi-pengemudi angkot tersebut, imbuhnya, dapat menjadi pengemudi bus setelah mendapatkan pelatihan dan menjalankan tes.
Pengemudi angkot yang tidak lulus tes menjadi supir bus dapat menjadi kondektur atau bekerja pada bagian administrasi. Kemudian, pengemudi angkot yang berusia lanjut dan tidak mampu mengemudi bus dapat digantikan dengan salah satu anggota keluarganya.
Pemerintah, dia menekankan, jangan sampai memiskinkan orang yang sudah berusaha. “Jika konsisten dan perhatikan kepastian hidup operator dan supir lama pasti tidak terjadi gejolak,” ungkapnya.
Terkait dengan kendaraan yang dimiliki, pemerintah dapat menguranginya secara bertahap dengan tidak memperpanjang izin operasi angkot tersebut jika telah mencapai batas akhir.
Adapun mengenai sistem pembayaran terhadap pengemudi bus setelah konversi dilakukan, Djoko memiliki pandangan yang sama dengan Kurnia, yakni pemerintah harus menerapkan sistem buy the service.
Dia berharap konversi angkot menjadi bus dapat membuat kendaraan umum lebih tertib. Dengan begitu, arus lalu lintas bisa menjadi lebih lancar.
Tautan : http://industri.bisnis.com