SETENGAH tahun sudah ”Jateng Gayeng” diluncurkan sebagai branding Provinsi Jawa Tengah di Purwokerto. Menurut Tonny Subagyo, penciptanya, Jateng Gayeng mengandung makna masyarakat Jawa Tengah yang penuh semangat, berani, tangguh, jujur, ramah, menggembirakan, harmonis dan hangat.
Ungkapan Jateng Gayeng juga mengandung makna interaksi antaranggota masyarakat yang setara, saling terbuka dan dipenuhi kegembiraan serta kehangatan.
Kata gayeng juga menggambarkan kondisi lingkungan yang mendukung perikehidupan masyarakat Jawa Tengah sehingga dapat memiliki interaksi yang setara, saling terbuka dan dipenuhi kegembiraan serta kehangatan. Dengan kata lain, diperlukan kondisi lingkungan yang baik dan terawat untuk mendukung terjadinya suasana dan semangat gayeng. Dengan demikian, kata gayeng sudah mencakup unsur spirit dan atmosfir.
Menurut saya, branding Jateng Gayeng memiliki kelebihan karena sifatnya yang kurang asertif dibandingkan, misalnya, dengan branding Mboten Ngapusi, Mboten Korupsi. Jateng Gayeng lebih sebagai ajakan dan ungkapan kebanggaan terhadap spirit dan atmosfir lokal Jawa Tengah. Pemilihan gayeng sebagai tagline bisa dikatakan sebagai pilihan yang secara stratejik sesuai dengan kebutuhan aktual Jawa Tengah saat ini.
Jawa Tengah memerlukan kerja sama dan sinergi yang melibatkan segenap pemangku kepentingan untuk mewujudkan tercapainya tujuan pembangunan. Dengan spirit dan atmosfir ”gayeng” kecenderungan untuk mengutamakan kepentingan sendiri dan kelompok diharapkan dapat terkurangi.
Singkatnya, branding ini layak diangkat sebagai salah satu strategi untuk menguatkan modal sosial (social capital). Kehadiran branding ini jika dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintah provinsi akan memupuk modal sosial yang sangat berharga bagi pewujudan Pembangunan Daerah yang Berkelanjutan (MacNeill, 2007 dalam Redekop, 2010).
Mengacu Francis Fukuyama, modal sosial dimaknai sebagai norma informal dalam wujud nyata yang mendorong kerja sama antarperorangan. Di dalam dunia ekonomi, modal sosial mereduksi biaya transaksi, sedangkan di dunia politik, modal sosial mendorong terjadinya kerja sama dalam pencapaian tujuan bersama.
Norma Tradisional
Modal sosial terbangun atas normanorma tradisional seperti kejujuran, rasa saling percaya (trust), semangat timbal balik (reciprocity), komitmen dan tanggung jawab, hingga nilai dan doktrin yang kompleks seperti agama (Francis Fukuyama, 2001). Empat unsur kunci dalam interaksi antarwarga yang gayeng, yaitu kesetaraan, saling keterbukaan, kegembiraan dan kehangatan, jelas dapat menguatkan norma-norma penyusun modal sosial.
Unsur kesetaraan merupakan bagian dari norma semangat timbal balik; begitu pula unsur keterbukaan adalah bagian dari norma kejujuran dan rasa saling percaya. Di dalam kelompok yang memiliki modal sosial dikenal adanya radius of trust, yaitu lingkaran anggota yang menjalankan norma kerja sama secara nyata.
Jika modal sosial suatu kelompok menghasilkan luaran yang positif, maka radius of trust-nya bisa melampaui kelompok itu sendiri. Selanjutnya, unsur kegembiraan dan kehangatan merupakan pupuk penyubur bagi semua norma penyusun modal sosial. Kegembiraan dan kehangatan akan memberikan dorongan lebih pada proses kerja sama antaranggota masyarakat.
Banyak penelitian menunjukkan bahwa modal sosial mendorong kerja sama, kemitraan dan koordinasi yang pada gilirannya memberikan manfaat bagi perbaikan ekonomi maupun politik suatu wilayah. Dalam rangkuman Jordan dkk (2010) reduksi biaya transaksi, pertumbuhan gerakan koperasi, peningkatan pendapatan warga dan pertumbuhan ekonomi adalah manfaat modal sosial dalam dunia ekonomi.
Begitu pula, manfaat modal sosial dalam dunia politik bisa mencakup perbaikan partisipasi politik dan good governance. Memperhatikan sejumlah bukti tentang kekuatannya maka tidaklah keliru jika setiap wilayah, tidak mengecualikan Jawa Tengah, melibatkan modal sosial dalam agenda pembangunan wilayah.
Dalam hal ini branding layak diangkat sebagai salah satu strategi untuk menguatkan modal sosial. Branding ”Jateng Gayeng” sendiri memiliki kelebihan karena sifatnya yang persuasif. Untuk dapat memperkuat modal sosial, pengenalan (sosialisasi) branding Jateng Gayeng harus dilakukan secara terstruktur dan masif.
Hanya dengan begitu, proses penanaman (internalisasi) unsur-unsur nilai dalam branding itu dapat terjadi. Keberhasilan penanaman branding baru ini kepada khalayak internal yang mewujud dalam berbagai prakarsa kolektif akan menghasilkan atmosfir yang dapat meningkatkan daya pikat provinsi ini bagi pada khalayak eksternal. (50)
— Budi Widianarko,
Rektor Unika Soegijapranata
dan anggota Dewan Riset Daerah Jateng.
Tautan : http://berita.suaramerdeka.com, SM 25 Februari 2016