Peneliti laboratorium transportasi Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata, Djoko Setijowarno mengatakan, hukum tetap berlaku sama pada semua orang, demikian juga soal pelayanan transportasi. Regulasi yang sudah ada harus dipatuhi dan dilaksanakan secara utuh.
Soal permintaan perusahaan penyedia aplikasi, yaitu Grab dan Uber perlunya jalur khusus untuk uji berkala atau KIR terhadap armada mitra bisnisnya, kata Djoko tidak bisa dilakukan, semuanya harus sama. Karna semua kendaraan yang di KIR juga harus patuh dan ikut antrian.
“Artinya, sekarang jumlah kendaraan yang menggunakan aplikasi online jumlahnya cukup banyak sehingga tidak bis diperlakkan secara khusus,” jelasnya.
Kata Djoko, jangan sampai KIR dianggap sebagai sumber pendapatan bagi daerah. Tapi yang perlu disadari, KIR adalah upaya melihat kelaikan kendaraan untuk melindungi masyarakat. “Apakah kendaraan itu masih dapat beroperasi dengan baik atau tidak, supaya bila membawa penumpang tidak menimhulkan kecelakaan,”jelasnya.
Aktivis Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) ini juga mengatakan, termasuk keinginan penghapusan kuota kendaraan. Dikatakan, pembatasan kuota itu penting untuk menjaga, agar tidak terjadi over supply yang berujung pada keburukanpelayanan. ” Saking banyaknya kendaraan sehingga terjadi rebutan penumpang. Jika dibebaskan, tidak akan mendukung keberadaan transportasi umum dan cenderung menambah kendaraan pribadi,” ungkapnya.
Dikatakan, peyedia aplikasi transportasi online ini, maunya kendaraan tanpa dibatasi dan maunya semua kendaraan gunakan aplikasi online, tapi tidak memikirkan kebelanjutannya.
“Babaimana jika yag ikut program transportasi online adalah mobil cicilan yang setiap bulan wajib mengangsur atau bayar cicilan. Sementara pendapatannya tidak mencukupi dan kendaraan itu disita dan pemiliknya bangkrut,” jelas Joko.
Penentuan kuota kendaraan di setiap kota, tidak asal minta, diperlukan kajian terhadap kebutuhan. Jika supply melebihi demand, entunya akan berakhir dengan kerugian. Padahal, perusahaan aplikasi tidak menanggung ketugian itu, karena perusahaan peyedia aplikasi tidak investasi kendaraan.
“Jika selama ini ada permainan kuota , hal itu harus segera kita rubah dan benahi. Bentuk institusi, yang terdiri dari unsur pemerintahan, aggota dewan, lembaga konsumen, akademisi, praktisi bisnis transportasi termasuk pers,” jelasnya.
Demikian juga soal penentuan tarif batas atas dan bawah, bukan sekedar menentukan batasan. Tapi atas dasar enelitian dan punya makna dan tidak sembarangan meghitung. Tarif batas atas untuk melindungi konsumen, taif batas bawah agar bisnis transportasi tetap berlangsung,” jelasnya.
Joko juga menyarankan, agar istilah taksi konvensional, diganti dengan kata taksi “taksi resmi”. Di Semarang dan Solo ada taksi resmi beraplikasi, masuk kategori angkutan sewa umum atau angkutan sewa khusus. (►http://www.bisnisnews.id)
Internship Fair FIKOM SCU: Jembatan Mahasiswa Menuju Dunia Industri
Fakultas Ilmu Komputer (FIKOM) Soegijapranata Catholic University (SCU) secara rutin