Warga Memilih Menerobos Lalu Lintas
Pembangunan Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) di Kota Semarang diminta dikaji. Pasalnya, fasilitas umum tersebut kurang diminati. Masyarakat memilih menerobos lalu lintas, dibandingkan menyeberang dengan naik tangga JBO. Padahal anggaran untuk pembuatan JPO tidak sedikit. Setidaknya dibutuhkan dana Rp 2 miliar untuk membangun satu JPO, dengan beton. Belum lagi anggaran perawatan sekitar Rp 50 juta per tahun. Saat ini, ada sekitar 40 JPO yang berada di Kota Lunpia.
Pakar transportasi Universitas Katolik Soegijapranata, Djoko Setijowarno mengatakan, pembangunan JPO di berbagai jalanan di Kota Semarang selama ini sekadar ada dan menggugurkan fungsinya. Sementara fungsi utama, sebagai alat penyeberang terabaikan. ’’Banyak orang yang enggan memanfaatkan jembatan. Mereka memilih untuk menyeberang di jalan, meksi banyak kendaraan yang lalu-lalang. Saat ini, fungsinya terkesan hanya untuk memasang iklan saja. Karena itu, pembangunannya harus dikaji kembali,’’ujar Djoko, kemarin.
Di Jalan Ahmad Yani, Jalan Pandanaran maupun Jalan Pemuda, para pejalan kaki memilih menyeberang jalan raya dengan menerobos keramaian lalu lintas. Alasannya beragam, mulai JPO terlalu tinggi, capek, dan rawan pada malam hari. Pembatas di Jalan Ahmad Yani juga tak menjadi penghalang bagi warga. Di pembatas tersebut, masih ada celah, sehingga warga bisa melewatinya dengan cara membungkuk. Pagar pembatas juga tidak panjang, sehingga dapat lewat dari sisi lain. ’’Jembatan penyeberangan dibangun terlalu tinggi. Saya takut ketinggian. Karena itu, saya memilih menyelinap di antara kemacetan jalan,’’ ujar Dewi (32), karyawan sebuah mal di Kawasan Simpanglima.
Tak Terawat
Tak hanya kurang diminati, kondisi sejumlah JPO di Semarang juga kurang terawat. Hal itu seperti di JPO Kagok, Jalan Sultan Agung depan Sekolah Ibu Kartini. Lantai JPO yang terbuat dari kayu sudah banyak yang keropos, bahkan ada yang jebol. Atap yang terbuat dari fiber juga rusak. Kondisi JPO di depan Kodam IV Diponegoro, Jalan Perintis Kemerdekaan lebih parah lagi. JPO itu bahkan tidak ada atapnya. Anak tangga JPO yang terbuat dari kayu sudah rapuh termakan usia. ”Warga yang lewat harus ekstra hati-hati,” ujar Ngadirin, seorang pedagang kaki lima di sekitar JPO, kemarin.
Sementara itu, Kabid Keselamatan Sarana dan Prasarana Dishubkominfo Kota Semarang, Cipto Budi Sayoga menuturkan, kini, pembangunan JPO berdasarkan permintaan warga. Biasanya, dibangun di dekat sekolah dan jalan yang lalu lintasnya ramai. ”Rencananya, tahun ini akan dibangun dua jembatan lagi di jalan arah ke Jakarta.
Di sana, lalu lintasnya memang padat, sehingga perlu ada sarana jembatan untuk warga yang menyeberang. Untuk menambah keamanan, kami juga akan memasang CCTVdan memberikan lampu, tahun depan,” ujar Cipto Budi.
Sementara itu, Lainatul Mudzkiyyah, psikolog UIN Walisongo menuturkan, kebanyakan manusia, menyukai perilaku yang memberikan efek menyenangkan. Sementara untuk keamanan, menjadi pilihan terakhir. Karena itu, jarang yang menggunakan jembatan penyeberangan. Agar lebih tertib, imbuhnya, tidak perlu sanksi denda, tetapi sanksi sosial, seperti tatapan mata, menegur dengan kata-kata. Kemudian menuliskan kata-kata penyemangat di jembatan. Contohnya, dengan menggunakan tangga ini, dapat membakar 100 kalori. ”Setiap individu memiliki tanggung jawab untuk memperbaiki, tidak adil kalau hanya pemerintah yang disalahkan. Untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat, bisa melakukan kampanye dengan melibatkan masyarakat,” ujarnya. (Suara Merdeka, 2 Agustus 2016, hal. 17, 20)
Tautan : http://berita.suaramerdeka.com