SEMARANG, (suaramerdeka) – Indonesia telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan dalam UU Nomor 7 Tahun 1984 tetapi dalam masa saat ini masih ada tindakan diskriminasi terhadap perempuan terlebih dalam bidang hukum.
Koordinator Jaringan Peduli Perempuan dan Anak (JPPA) Prof Dr Agnes Widanti SH CN menyatakan, perempuan pencari keadilan mendapatkan diskriminasi baik dalam substansi, struktur dan kultur hukum.
Sistem peradilan pidana yang belum terpadu, berakibat pada korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) enggan melaporkan pelaku kekerasan. Hukum perdata perceraian menjadi andalan bagi perempuan korban KDRT meskipun tidak serta merta mendapat keadilan dalam hak gono gini, hak asuh anak serta hak nafkahnya.
“Bahkan kasus kriminalisasi seorang perempuan korban KDRT yang tengah berjuang mendapatkan hak anak-anaknya tidak mendapatkan perhatian dari sistem peradilan. Sistem peradilan bukannya memberikan keadilan namun malah memposisikam korban sebagai pelaku kejahatan,” kata Agnes di Gedung Thomas Aquinas Unika Soegijapranata, Rabu (24/2).
Teori Hukum Feminis kritis mengatakan bahwa hukum menunjukkan sejumlah keterbatasan atau keterikatan pada realitas nilai-nilai sosial. Agnes melanjutkan, dalam kenyataan rumusan hukum adalah phallocentric yaitu didominasi laki-laki, begitu pula mengenai isu-isu atau kasus-kasus yang sampai ke pengadilan mengalami hambatan dan tidak bergaung.
Lalu keterbatasan yang berkaitan dengan proses kerja dalam struktur hukum menjadi masalah untuk memperjuangkan hak-hak perempuan sehingga keberhasilan mempertahankan nya tidaklah mudah. Keterbatasan lainnya keterkaitan dengan batasan pengadilan yang memfokuskan kepada yang rasional dan logis saja.
“Ideologi gender juga menjadi hambatan karena kurangnya pemahaman ini bagi para penegak hukum,” tegasnya.
Tautan : http://berita.suaramerdeka.com