KKL Magister Hukum Kesehatan Unika
NEGERI sarat taifun itu bernama Filipina. Di kawasan tidak kurang dari 40 taifun (angin kencang) setiap tahun itu 9-11 Juli, 24 mahasiswa angkatan ke-26 Program Magister Hukum Kesehatan, Unika Soegijapranata belajar memahami ilmu, kebajikan, dan kebijakan- kebijakan kesehatan (health policies), yang dijalankan oleh Filipina.
Mengapa mereka belajar di sana? ”Filipina itu mirip Indonesia. Sama-sama negara berkembang. Sama-sama memiliki warga miskin yang cukup banyak,” kata Hermawan Pancasiwi (Kaprogdi Ilmu Komunikasi) yang bersama Dr Marcella Simandjuntak (Dekan Fakultas Hukum), Dr Endang Wahyati (Kaprogdi Hukum Kesehatan), dan Ign Hartyo Purwanto (Sekprogdi Hukum Kesehatan) mendampingi para mahasiswa ke Fakultas Kedokteran University of the Phillipines (UP) dan School of Medicine and Public Health of Ateneo de Manila University. Apa hasil dari kunjungan ke dua fakultas dan dua rumah sakit yang dimiliki masing-masing universitas itu?
”Kebijakan kesehatan mereka sangat bergantung pada antara lain sepak terjang taifun atau bencana lain. Kebijakan itu membuat setiap dokter di Filipina bertindak sebagai katalisator sosial. Mereka juga menjadi sosok-sosok yang melakukan pelayanan social,” jelas Endang Wahyati.
Karena itulah, tandas Endang, para dokter selalu berelasi dengan antropolog, sosiolog, atau psikolog, agar mereka bisa melakukan kebijakan- kebijakan dan kebajikan-kebajikan kesehatan secara holistik. ”Para dokter di Filipina selalu bilang, ‘Saya datang bukan untuk sekadar merawat (cury) tetapi menyembuhkan segala aspek,’” kata Ign Hartyo Purwanto.
Tiga Kompetensi
Hal menarik yang bisa diperoleh dari negeri yang memiliki lebih dari 7.000 pulau itu ialah kemunculan kesadaran bahwa ilmu kesehatan (kedokteran) bukan ilmu yang terasing (alienated) dari masyarakat. Ilmu itu tidak bisa secara ekslusif dipelajari di balik dinding-dinding beton tebal tanpa ada interaksi langsung dengan masyarakat, lebih-lebih jika dikaitkan dengan kondisi masyarakat negara berkembang seperti Filipina.
Di kedua universitas tersebut, setiap calon dokter harus mengusai tiga kompetensi yang saling berkelindan dan sinergis, yaitu healer, leader, dan sekaligus social catalyst. Itulah sebabnya, para mahasiswa kedokteran di Filipina harus banyak bekerja dan terlibat langsung dengan masalah-masalah kesehatan di masyarakat.
Mereka akan bekerja sama dengan para mahasiswa dari disiplin ilmu yang lain untuk saling mendukung dan melengkapi demi memecahkan masalah-masalah sosial, termasuk masalah akibat bencana taifun yang sering mereka alami. ”Kebijakan-kebijakan kesehatan di Filipina tidak jauh berbeda dari yang ada di Indonesia, terutama yang berkaitan dengan jaminan kesehatan nasional (national health insurance),” ujar Dr Hilton Lam, Director of Health Policy UP.
Apalagi yang dipelajari? Rombongan yang disambut langsung oleh Dr Charlotte M Chiong (dekan) dan Dr Tammy de Rosa (Director Office of International Linkages) itu juga mempelajari bagaimana orang harus mengasah kepekaan sosial. Bahkan kunjungan ke School of Medicine and Public Health Ateneo de Manilla University meninggalkan kesan yang tak kalah mendalam.
https://www.suaramerdeka.com, Suara Merdeka 17 Juli 2017 hal. 24