Oleh Rudyanto Soesilo
Akhir-akhir ini wacana Arsitektur Indonesia diramaikan dengan berbagai diskusi, seminar, pembahasan tentang, tentang ”pengkinian”, mengkontekskan” , arsitektur Nusantara, yang intinya tentang Kebangkitan (lagi) arsitektur Nusantara dalam wacana masa kini. Kata ”lagi” menunjukkan bahwa kebangkitan arsitektur Nusantara memang menjadi wacana perbicangan yang terus muncul dalam wacana arsitektur (th 2002 pernah diseminarkan Kematian Arsitektur tradisional di Yogya). Wujud Arsitektur Nusantara sarat dengan makna filosofis bukan sekedar pemenuhan fungsi. Arsitektur, dimanapun bukan merupakan tumpukan material bangunan, demi kegunaannya saja, tetapi merupakan pengejawantahan dari sistem pemikiran manusia pencipta dan penggunanya.
Arsitektur Nusantara terbentang dari Sabang sampai Merauke, lebih dikenal dengan sebutan arsitektur tradisional-vernakular (arti harafiah: dialek bahasa), yang diwarnai dengan sistem pemikiran manusia pada era Kosmos-sentris dan Teos-sentris. Sistem politik di era itu bersifat Feodalis, Kerajaan, Kesultanan, Kekaisaran dll sehingga Perwujudannya adalah tempat2 ibadah & pemujaan, istana2 yang sarat ornamen2 kemilau, sebagai wadah dari sistem politik yang berlaku saat itu.
Sekitar abad XVI, peradaban umat manusia memasuki era Modern yang Anthropos-sentris, terjadilah revolusi ilmu-pengetahuan dan revolusi industri yang sangat mempengaruhi arsitektur. Lahirlah Arsitekturt Modern yang berdasar sains & teknologi, egaliter dan bersifat universal, International style, yang bertumpu pada norma2 modern : efektif, efisien, pragmatis, memunculkan jargon2 ”Form follows function” (Sullivan), ”Ornament is a crime” (Loos), ”Less is more” ( Mies) dll, yang menghasilkan ketunggal-ragaman dihampir seluruh belahan bumi ini. Fenomena International style ini kemudian mewabah, menggerus dan mengikis arsitektur apapun dan dimanapun wabah ini merasuk. Arsitektur kotak yang tunggal rupa ini bercokol dan memenuhi wacana dan fasade ruang hidup manusia.
Aspek Kehidupan
Tahun 1970an, mulailah muncul pergerakan Postmodern dalam seluruh aspek kehidupan, bereaksi terhadap ke-modernan yang tunggalnorma dan tunggal-rupa itu. Gerakan Postmodern dalam arsitektur yang bernada penolakan terhadap ke-modern-an memunculkan langgam Dekonstruksi. Yang masih melanjutkan kehebatan teknologi modern, memunculkan langgam Neo-modern, High-tech. Yang peduli lingkungan memunculkan Arsitektur Hijau (Green architecture).
Yang membangkitkan kembali arsitektur tradisional-vernakular memunculkan langgam Neo-vernakular , kesemuanya menggambarkan ontologi sistem pemikiran Postmodern yang peduli lingkungan, menolak ketunggalan, pluralis, incommensurable (tak bisa dibanding2-kan, unik). Langgam Neo-vernakular yang bersifat petite-histoire (Narasi kecil, kedaerahan) merupakan semangat zaman (zeitgeist) yang memang sedang bangkit dimana-mana, disadari ataupun dalam alam ”bawah-sadar” kalangan arsitektur.
Apapun label yang diwacanakan, ”kekinian”, ”menginikan”, ”meng-konteks-kan”, bahkan ”jaman-now”, kesemuanya menggambarkan semangat zaman itu. Ya memang itulah hakekat Postmodern yang bersifat hibrida, perbauran antara yang kini, yang mutakhir (teknologi dll) dengan nilai-nilai dan narasi yang sudah mentradisi (budaya, arsitektur dll).(63)
— Dr. Ir. Rudyanto Soesilo MSA, I.A.I | arsitek; dosen di Unika Soegijapranata
http://www.suaramerdeka.com, Suara Merdeka 1 April 2018, hal. 14