Dalam pertemuan awal tahun dengan pelaku industri jasa keuangan, Presiden Jokowi meminta pelaku jasa keuangan fokus mengucurkan kredit kepada usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) untuk mendanai pengembangan usaha.
Menurut Presiden, masalah yang terjadi saat ini adalah masih sedikitnya UMKM yang dapat mengakses modal perbankan karena perbankan tidak proaktif mendatangi pelaku UMKM.
Selain diberi akses permodalan, pelaku UMKM seharusnya juga diberikan pelatihan khusus seperti pembukuan dasar untuk mencatat pemasukan dan pengeluaran.
Perbankan juga diminta meningkatkan pertumbuhan kredit pada 2017 menjadi 12% dibanding 2016 yang hanya 9%. Kredit tersebut harus menyasar pada sektor kecil dan mikro, nelayan hingga petani serta sektor usaha produktif lainnya (Bisnis Indonesia, 14/1/2017).
Permintaan Presiden Jokowi tersebut sangat tepat dan perlu segera ditindaklanjuti oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan para pelaku industri jasa keuangan. Mengapa?
Jawabnya, karena meski secara politik UMKM telah menyedot perhatian besar dari pemerintah pusat-daerah untuk dibangun dan ditumbuhkembangkan, namun fakta-fakta empiris justru menunjukkan bahwa pertumbuhan sektor ini masih lamban.
Pertumbuhan kinerja sektor UMKM bahkan jauh lebih rendah dibanding sektor korporasi. Salah satu faktor penyebab utamanya adalah lemahnya dukungan finansial dari perbankan.
Kalaupun suatu bank berani memberi kredit, bunganya pasti akan jauh lebih tinggi dibanding untuk sektor korporasi.
Itu sebabnya, kebanyakan pelaku UMKM takut berhubungan dengan perbankan apabila menginginkan tambahan modal usaha. Mereka lebih suka meminjam dari rentenir dibanding perbankan.
Hal lain yang juga perlu mendapat perhatian serius adalah dalam sejumlah kasus, OJK dianggap kurang siap apabila ada bank berani membuat terobosan kebijakan kredit kepada UMKM dengan bunga rendah.
Bank Jateng, misalnya. Dalam dua tahun terakhir, bank milik Pemprov Jateng ini gencar meluncurkan kebijakan kredit berbunga rendah untuk membantu pelaku UMK produktif dalam pengembangan usaha.
Bank ini telah meluncurkan kebijakan Kredit Usaha Produktif (KUP), Mitra Jateng 02 dan Mitra Jateng 25 dengan tingkat bunga sangat rendah. Konon, kebijakan kredit yang ramah UMKM tersebut kurang ‘direstui’ OJK karena dinilai berisiko tinggi dan merusak pasar kredit perbakan nasional.
Perbankan Diskriminatif
Singkatnya, pernyataan Presiden Jokowi bahwa permasalahan yang terjadi saat ini adalah masih sedikitnya UMKM yang dapat mengakses modal karena perbankan tidak proaktif mendatangi pelaku UMKM sangat tepat.
Pernyataan tersebut terdukung oleh hasil studi Lako, dkk (2015) terhadap pelaku UMKM di 34 kabupaten/kota di Jawa Tengah. Berdasarkan hasil kuisioner dan FGD, studi tersebut melaporkan bahwa perbankan tidak hanya tidak proaktif terhadap pelaku UMKM, tapi juga diskriminatif dalam pemberian kredit kepada pelaku UMKM dibanding korporasi.
Perbankan dinilai kurang peduli kepada UMKM dalam urusan kredit. Persyaratan kredit dari perbankan dinilai sangat ‘mencekik’ pelaku UMKM.
Studi tersebut juga melaporkan bahwa kebanyakan pelaku UMKM lebih suka meminjam dana dari rentenir dibanding perbankan.
Perbankan dinilai tidak proaktif mendatangi para pelaku UMKM yang ada di daerah-daerah terpencil, tapi lebih fokus pada wilayah-wilayah perkotaan yang lebih mudah aksesnya dan menguntungkan.
Hal ini menyebabkan pertumbuhan UMKM dan ekonomi kerakyatan di wilayah-wilayah terpencil tidak berkembang sehingga permasalahan kemiskinan, kemelaratan dan penggangguran sulit teratasi.
Selain itu, gelontoran dana kredit usaha rakyat (KUR) puluhan triliun rupiah yang dilakukan perbankan selama ini juga dirasakan kurang efektif meningkatkan kinerja sektor UMKM.
Hal itu disebabkan pelaksanaannya tidak banyak menyasar kepada para pelaku UMKM yang sangat membutuhkan dan atau yang berada pada wilayah-wilayah terpencil. Kalaupun mendapatkan, namun akibat lemahnya pelatihan dan pendampingan usaha maka kinerja dari UMKM yang mendapat KUR tidak begitu bagus. KUR justru bisa menjadi beban berat bagi UMKM penerimanya.
Singkatnya, hasil studi Lako, dkk (2015) menyimpulkan bahwa perbankan belum sepenuh hati mendukung pembangunan UMKM.
Perbankan lebih mengutamakan misi meraup laba dibanding misi membantu negara dalam upaya menumbuhkembangkan sektor UMKM untuk memperkuat fondasi ekonomi kerakyatan dan peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat.
Bangun Kemitraan Strategis
Dari uraian di atas maka permintaan Presiden Jokowi agar pelaku industri jasa keuangan proaktif dan fokus mengucurkan kredit dan memberikan pendampingan usaha kepada pelaku UMKM menjadi sangat tepat. Permintaan itu hendaknya segera ditindaklanjuti OJK dan para stakeholder terkait.
Langkah pertama yang perlu segera dilakukan adalah mengubah paradigma bisnis perbankan terhadap kredit dan risiko kredit kepada UMKM.
Pinjaman kredit kepada UMKM janganlah semata-mata dinilai dari perspektif kepentingan bisnis untuk meraup laba (profit maximize). Tapi, harus dinilai dari perspektif misi tanggung jawab sosial-politik korporasi (CSR) perbankan untuk ikutserta memajukan kesejahteraan sosial, memperkuat ekonomi kerakyatan dan memperkuat fondasi serta basis perekonomian nasional.
Dari perspektif CSR, misi tersebut sesungguhnya juga bertujuan untuk memperkuat dan memperluas fondasi bisnis perbankan di masa depan (Lako, 2015). Karena itu, bunga kredit yang dibebankan kepada pelaku UMKM seharusnya lebih rendah.
Langkah kedua adalah OJK dan para stakeholder terkait hendaknya segera menyusun blue print Kemitraan Strategis Industri Jasa Keuangan dengan UMKM.
Tujuannya, untuk memberikan landasan filosofis dan yuridis tentang hakikat kemitraan tersebut, dan juga arahan strategis tentang visi, misi, tujuan, sasaran, target dan tatakelola kemitraan strategis antara perbankan dan pelaku UMKM.
Itu berarti, sejumlah regulasi dan kebijakan konservatif OJK dan perbankan yang terkait dengan kredit UMKM perlu dikaji kembali dan ditata ulang.
Karena pola kemitraan strategis tersebut berkaitan dengan misi tanggung jawab sosial-politik korporasi untuk mewujudkan kepentingan negara maka kebijakan kredit berbunga rendah dan pendampingan usaha berkelanjutan kepada pelaku UMKM menjadi sangat krusial untuk direalisasikan OJK.
Saat ini, Presiden Jokowi pasti sedang menunggu tindakan nyata dari pimpinan OJK dalam merespon permintaannya.
*) Andreas Lako, Guru Besar Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unika Soegijapranata, Semarang
(►http://koran.bisnis.com 28_02_2017, Bisnis Indonesia 28 Februari 2017)
Serah Terima Jabatan Ormawa FHK SCU
Fakultas Hukum dan Komunikasi (FHK) Soegijapranata Catholic University (SCU) melaksanakan Serah