Oleh: Aloys Budi Purnomo, Rohaniawan, Pencinta Seni, Budayawan Interreligius
SANGAT menarik mengamati dan mencermati ekspresi seni di saat kita sedang dilanda pandemi Covid-19. Pandemi tak membuat para pencinta dan pelaku seni dan budaya merana, apalagi berhenti berkarya. Bahkan mereka tetap hadir tak hanya untuk menghibur warga masyarakat yang harus tinggal di rumah selama masa pandemi, melainkan juga demi bela rasa dan kemanusiaan.
Dalam rangka HUT ke-7 di tengah pandemi ini, misalnya, Tribun Jateng pun menyelenggarakan konser amal melalui ekspresi seni yang melibatkan banyak orang. Mulai dari para pelaku seni (khususnya musik), pejabat publik (Walikota Semarang dan Bupati Kendal), hingga tokoh agama berpartisipasi di dalamnya. Ekspresi seni, budaya dielaborasi dengan pengajian virtual dan intensi solidaritas atas nama kemanusiaan.
Sebelumnya kita juga menyaksikan, konser virtual dilakukan para seniman musik seperti yang dibuat oleh Didi Kempot, Rhoma Irama, dan Maria Shandi. Tujuannya hanya satu, atas nama kemanusiaan menggalang semangat bela rasa dan derma bagi siapa saja yang menjadi korban pademi, termasuk apresiasi bagi para pribadi yang menjadi banteng bagi para korban, yakni para dokter, perawat dan relawan.
Kesenian dan kemanusiaan
Kesenian dan kebudayaan yang sejati itu suci. Ia menghadirkan wajah kerahiman Sang Pencipta bagi kemanusiaan. Meminjam ungkapan Marc Chagall (7 Juli 1887 – 28 Maret 1985), seorang seniman lukis, kesenian adalah "peta ikonografis" bagi kebudayaan dan kemanusian. Bahkan karya seni menjadi bagian pengungkapan iman dalam kebenaran, kebaikan dan keindahan, apa pun agama dan kepercayaan kita. Setiap bentuk seni sejati dalam caranya sendiri merupakan jalan kepada realitas manusia dan Tuhan, dengan cara apa pun kita menyebut Nama-Nya.
Itulah sebabnya intuisi seni seorang sufi Islam dari Mesir, Ali Al-Khawas. Guru Sufi Islami pada abad ke-16 tersebut mengatakan: Prasangka tidak seharusnya membuat kita mengkritik mereka yang mencari ekstase dalam musik dan puisi. Ada rahasia halus dalam setiap gerakan dan suara dari dunia ini. Orang yang sudah diinisiasi mulai menangkap yang dikatakan angin yang bertiup, pohon yang bergoyang, air yang mengalir, lalat yang berdengung, pintu yang berderit, burung yang bernyanyi, atau dalam suara petikan senar alat musik, siulan seruling, desah orang sakit, erangan orang yang disiksa!
Enam abad sebelum Ali Al-Khawas, tokoh mistik Katolik abad ke-11, St. Fransiskus Assisi menggemakan madah pujian kepada Sang Pencipta atas nama kemanusiaan dan segala ciptaan. Fransiskus Asisi pun berseru: Engkaulah keindahan karena Engkau adalah keindahan! Terpujilah Engkau, Tuhan, bersama semua makhluk-Mu, terutama Tuan Saudara Matahari; dia terang siang hari, melalui dia kami Kau beri terang. Dia indah dan bercahaya dengan sinar cahaya yang cemerlang; tentang Engkau, Yang Mahaluhur, dia menjadi tanda lambang. Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena Saudari Bulan dan bintang-bintang, di cakrawala Kau pasang mereka, gemerlapan, megah dan indah. Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena Saudara Angin, dan karena udara dan kabut, langit yang cerah dan segala cuaca, dengannya Engkau menopang hidup makhluk ciptaan-Mu. Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena Saudari Air; dia besar faedahnya, selalu merendah, berharga dan murni. Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena Saudara Api, dengannya Engkau menerangi malam; dia indah dan cerah ceria, kuat dan perkasa!
►Tribun Jateng 30 April 2020 hal. 2