Dengan munculnya produk revolusi industri 4.0 yang menekankan kepada kemampuan Artificial Inteligence (Kecerdasan Buatan) yang mampu menggerakkan robot-robot yang “lebih pintar” dan “tidak pernah mengeluh” maka banyak pekerjaan yang dikerjakan tenaga manusia digantikan dengan yang lebih murah, efisien dan berkualitas lebih tinggi.
Untuk mengkaji lebih dalam hal tersebut maka Fakultas Teknologi Pertanian (FTP) Unika Soegijapranata Semarang mengadakan seminar “Tantangan dan Peluang Industri Makanan dan Minuman” dengan menghadirkan narasumber Adhi S. Lukman Ketua GAPPMI (Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia) juga sebagai CEO (Chief Executive Officer) PT. Niramas, serta sebagai anggota pokja (kelompok kerja) ahli mewakili dunia usaha di Dewan Ketahanan Pangan Nasional di bawah Presiden dengan ketua harian Menteri Pertanian Indonesia.
Seminar yang diselenggarakan di kampus Unika belum lama ini juga dihadiri dosen, mahasiswa, dan alumni FTP Unika Soegijapranata, anggota PATPI (Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia), dan Dinas Ketahanan Pangan Kota Semarang.
Dalam sambutannya Dekan FTP Unika Soegijapranata Dr. R. Probo Yulianto N., S.TP., MSc. Menjelaskan di sepanjang tahun 2017 terjadi banyak perkembangan setidaknya di Kota Semarang terutama untuk bidang hotel, restoran, dan katering khususnya industri kuliner dengan berbagai skala banyak bermunculan di Kota Semarang. Industri Kuliner berkembang pesat seiring pesatnya perkembangan teknologi informasi dalam memaknai sebuah makanan. Dari sebagai sumber nutrisi hingga saat ini sebagai media eksistensi karena ada yang kurang ketika makanan tidak difoto sebelum dimakan. Fenomena aplikasi media sosial menunjukkan betapa lenturnya dunia makanan untuk dikembangkan. Di sisi lain, dunia makanan industri yang merupakan hasil produksi pabrik juga mengalami pertumbuhan penjualan yang turut mendongkrak nilai retail di tahun 2017.
Sementara itu dalam paparannya, Adhi menjelaskan Indonesia patut bersyukur karena diberikan anugerah Tuhan dengan jumlah penduduk yang banyak dan juga sumber daya alam yang cukup banyak serta perkembangan terakhir, Indonesia masuk dalam kelompok negara yang memiliki penghasilan GDP (Gross Development Product) mencapai US$ 1 triliun. Dengan kondisi tersebut, dunia pangan merupakan salah satu yang diuntungkan karena kegiatan makan tidak bisa diubah dalam wujud digital (digitalisasi).
Apabila dilihat kembali, Pulau Jawa masih memegang kontribusi pemasukan terbesar bagi GDP hingga 60% dari total GDP. Hal ini menjadi jawaban mengapa industri banyak yang berdiri di Pulau Jawa dan hampir sebagian populasi rakyat Indonesia berada di Pulau Jawa. Namun, ditegaskan oleh Adhi bahwa pemerintah saat ini sedang mengupayakan pemerataan terkait distribusi barang.
Industri makanan dan minuman sendiri masuk dalam Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional 2015-2035 dan menjadi salah satu industri andalan karena kontribusi terhadap pertumbuhan GDP sangat besar. Untuk industri makanan di Indonesia berjumlah sekitar 100 hingga 6000 dan jumlah yang lebih besar ditunjukkan dari industri kecil, menengah, dan rumah tangga sekitar 1,6 juta. Banyaknya pelaku industri kecil turut mendukung perekonomian nasional dan bahkan pertumbuhannya seringkali lebih besar dari pertumbuhan nasional. Berdasarkan data, pertumbuhan industri kecil, menengah, dan rumah tangga hingga quarter III di tahun 2017 mencapai 9,6% sedangkan kontribusi terhadap PDB (produk domestik bruto) sekitar 35%. Dibandingkan sektor migas, sektor Non-migas (salah satunya pangan) menyumbang kontribusi terbesar bagi pendapatan negara.
“Saat kita bertemu dengan Presiden Jokowi, dikatakan industri pangan dan minuman merupakan industri yang paling tahan dan paling bagus karena apabila kedua industri tersebut sudah goyang artinya ekonomi negara tersebut sudah menjelang kehancuran” tegas Adhi.
Berdasarkan data BPS (Badan Pusat Statistik), di tahun 2017, pertumbuhan industri makanan dan minuman mengalami anomali terutama di industri minuman yang penjualannya mengalami perlambatan tetapi masih ada pertumbuhan. Menurut Adhi, industri makanan dan minuman erat kaitannya dengan distribusi yang terbagi dalam 2 jalur, modern trade yang terdiri dari minimarket, supermarket, dan hypermarket serta traditional trade yang terdiri dari pasar tradisional dan toko. Pertumbuhan penjualan lebih besar ditunjukkan oleh modern trade sebesar 1,3%
Masalah yang melanda saat ini, untuk jalur supermarket dan hypermarket, pertumbuhan penjualan mengalami kerugian. Berbeda dengan keduanya, pertumbuhan minimarket saat ini semakin banyak dan mulai menjamur. Menurut data audit retail dari Nielsen, pertumbuhan penjualan produk makanan memang menunjukkan penurunan dibandingkan tahun lalu, akan tetapi lebih baik dibandingkan sektor di luar makanan. Dilihat dari pertumbuhan FMCG (Fast Moving Consumer Good) yang mensurvey produk retail dari 5 kategori, menunjukkan pertumbuhan di Pulau Jawa mengalami perlambatan sedangkan di luar Pulau Jawa justru sebaliknya yaitu mengalami peningkatan. Menurut Adhi, hal ini terjadi karena pemerintah saat ini lebih condong mendorong distribusi menuju Indonesia bagian timur. Selain itu, pulau di luar Jawa seperti Sumatra dan Kalimantan juga didorong oleh sumber daya alam yang cukup besar yang berkontribusi peningkatan persebaran produk.
Dijelaskan pula oleh Adhi bahwa beberapa negara di Benua Eropa dan Amerika Serikat, isu hangat saat ini adalah food loss and waste artinya sampah sisa makanan telah menjadi topik pengelolaan sampah yang dibicarakan secara khusus. Sementara di Indonesia yang menganut sistem expired date juga menghadapi persoalan yang sama tentang sampah sisa makanan. Sebaliknya dalam kondisi tersebut ada sebagian saudara kita yang hidupnya masih kekurangan gizi. Maka perlu langkah konkrit untuk mengantisipasi terkait food loss and waste, salah satunya adalah dengan disruptive technology baik dalam industri makanan maupun pengolahan agrobisnis.