“Korona bisa berdampak pada terhambatnya kemampuan relasi dan tumbuh kembang seorang anak serta bisa berpengaruh pada sifat orang tua”
Virus Korona yang sedang mewabah di Indonesia tidak hanya monoton soal kesehatan. Ada beragam dampak nonmedis juga timbul selama pandemi virus Korona berlangsung di Indonesia.
Psikolog dari Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata Semarang; Kuriake Kharismawan SPsi MSi Psikolog, menyebut dampak pandemi virus Korona bisa menyerang anak-anak yang sedang mengenyam bangku pendidikan maupun balita dan orang tua. Seorang anak bisa kehilangan keterampilan sosial dan kehilangan masa tumbuh kembang, sementara orang tua bisa mengalami perubahan sifat.
Anak-anak yang sedang menempuh pendidikan merupakan waktu untuk belajar terkait keterampilan sosial. Pembelajaran itu terkait dengan menyampaikan tentang keinginannya, meminta maaf dan memaafkan, serta belajar berterimakasih. Disitulah seorang anak belajar berelasi dengan orang lain.
“Dengan adanya situasi pandemi Korona ini membuat sebagian anak akhirnya tidak bisa keluar rumah dan tidak punya teman sebaya. Akhirnya mereka ini kehilangan stimulasi untuk keterampilan sosialnya, ini akan beda ceritanya kalau mereka bisa bermain diluar ketika tidak ada korona,” ujar Kuriake saat dihubungi KUASAKATACOM melalui sambungan telepon, pada, Rabu (13/5//2020) siang.
Sementara anak-anak balita tepatnya yang berusia 2 sampai 5 tahun, secara fisik sedang tumbuh dan berkembang. Pada usia tersebut, sang anak sedang belajar beberapa gerakan seperti lari-lari dan loncat-loncat di luar rumah. Bila pandemi Korona ini memaksa anak balita bertahan di dalam rumah, maka dikhawatirkan tumbuh kembangnya tidak bisa optimal. Apalagi, jika rumah orang tuanya sangat sempit dan sang anak tidak bisa leluasa bergerak.
Terkait dua hal itu, Kuriake pun menyarankan agar para orang tua bisa menjadi teman yang baik bagi si anak. Contoh menjadi teman yang baik itu, antara lain mencoba mengajarkan berkelahi dan tidak menuruti permintaan anaknya. Dari hal itu, seorang anak yang masih sekolah akan belajar tentang menahan diri, meminta maaf dan memaafkan apabila orang tuanya salah.
“[Mengajarkan berkelahi kepada anak itu penting] karena anak-anak kan sering berkelahi,” imbuhnya.
Lalu kepada anak yang masih berusia 2 sampai 5 tahun, orang tua bisa menyediakan mainan dan mengajarkan rebutan mainan. Selain itu, bisa pula mengajak sang anak lari-lari dan lompat-lompat di lahan terbuka yang tidak ada banyak orang.
“Ini adalah tantangan untuk orang tua agar dua kebutuhan (kebutuhan berelasi dan tumbuh kembang-red) anak bisa terpenuhi dan agar anak tetap tumbuh berkembang secara baik,” sambungnya.
Orang tua belajar menjadi teman bagi anaknya, menurutnya hal yang sangat mungkin karena dalam beberapa bulan terakhir ini orang tua bekerja dari rumah. Maka secara otomatis orang tua memiliki banyak waktu untuk dekat dengan anaknya.
Lalu, pandemi Korona ini bisa berdampak pada perubahan sifat orang tua lantaran tidak adanya kejelasan sampai kapan pandemi ini berlangsung. Selain itu bisa pula karena kondisi ekonomi yang semakin memburuk selama masa pandemi.
“Kondisi ekonomi yang semakin memburuk itulah bisa saja membuat orang tua sensitif, mudah marah dan lain sebagainya,” sebutnya.
Karena mudah marah itu, orang tua sangat mungkin berubah melakukan kekerasan di dalam rumah dan membahayakan anaknya.
Oleh karena itu, ia menghimbau para orang tua agar bisa mengelola tingkat emosionalnya serta sering beribadah mendekatkan diri pada Tuhan.
Beribadah itu antara lain bila yang berkeyakinan Islam bisa dengan sering-sering melaksanakan salat atau mengaji di rumah, sementara yang berkeyakinan Kristen bisa dengan berdoa rosario atau mengikuti ibadah bertajuk “Saat Teduh”.
“Kalau hal ini tidak dilakukan, orang tua rentan melakukan kekerasan kepada anaknya,” bebernya.
Pengelolaan emosi bisa juga dengan membatasi pikiran negatif, dengan cara sesekali tidak menonton siaran televisi dan tidak baca berita. Hal itu karena ada ancaman nyata virus korona yang terdapat dalam berita maupun televisi.
“Ada saatnya orang tua menghentikan baca berita ketika mood mulai buruk atau sudah mulai sensitif. Itu indikasi stres. Ketika stres, orang tua bisa emosi dan anak jadi korban. Sehingga perlu diolah emosinya,” terangnya.
Selain kekerasan, orang tua dikhawatirkan juga berpotensi tingginya angka perceraian. Hal itu ia katakan dengan merujuk kejadian di kota Wuhan, China. Ia mengungkapkan ketika kota tersebut lockdown selama tiga bulan memaksa para warga bertahan di rumah. Diduga karena para pasangan suami istri sama-sama stres karena tertahan di rumah, para orang tua di kota tersebut akhirnya memilih bercerai ketika pandemi korona berakhir.
“Dan Indonesia sangat potensi terjadinya hal itu karena [orang-orang Indonesia sudah] tinggal di rumah sangat lama,” tutupnya.
►https://kuasakata.com/read/berita/13081-korona-tak-hanya-soal-kesehatan-1