Selama ini sekolah arsitektur yang ada di Indonesia salah dalam mengajarkan bahwa bangunan batu yang dibawa dari Eropa merupakan bangunan arsitektur. Sedangkan bangunan kayu disebut bangunan kebudayaan atau bangunan tradisi disebut bukan arsitektur.
Guru Besar Arsitektur Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya Prof Dr Josef Prijotomo M Arch menyatakan, kesalahan itu bermula ketika bangsa Eropa datang ke Nusantara membawa paham bangunan batu meski pada saat bersamaan di Indonesia berkembang bangunan kayu. Belanda kemudian mendirikan sekolah bangunan yang berpaham bangunan batu dan celaka saat Indonesia merdeka sekolah tersebut menjadi sekolah arsitektur.
“Kesalahan dasar arsitektur di Indonesia karena melanjutkan ilmunya orang Eropa dan tidak mau mengembangkan ilmu orang nusantara. Sekolah menyadari hal tersebut tetapi ilmu dari orang Indonesia belum dikembangkan,” kata Prof Josef saat menyampaikan orasi ilmiah dalam Dies Natalis Unika Soegijapranata ke 34 di ruang teater Gedung Thomas Aquinas setempat, Jumat (5/8).
Ada perbedaan yang paling mendasar menurutnya, bangunan yang dibawa bangsa Eropa dengan asli Indonesia. Bangunan Eropa, bangunan musti cantik, kuat, harus memakai pondasi dan memakai paku.
Sebaliknya bangunan Indonesia selain terbuat dari kayu, bangunan tidak memakai paku dan pondasi. Bangunan tradisional yang ada, antar sambungan kayu diikat dan memakai umpak bukan pondasi. Bangunan di Eropa yang diatur bangunan dan ruangannya untuk adatif dengan empat musim sedangkan di Asia dan Jepang, diatur orangnya.
“Bangunan Indonesia paling dasar tidak menggunakan dinding tetapi menggunakan tirai, cocok dengan iklim tropis yang hanya mengenal dua musim. Terlebih tropis di Indonesia yang cenderung lembab dimana penggunaan dinding justru membuat panas ruangan sehingga memicu penggunaan AC yang di Eropa justru sebagai pemanas ruangan,” tuturnya.
Bangunan di nusantara tidak menggunakan paku maupun pondasi dengan gaya panggung sambung Prof Josef, merupakan bentuk mitigasi bencana gempa, banjir, lonsor, tsunami yang sering menerpa setiap bagian negeri ini. Bangunan tidak mudah rusak, ketika bencana-bencana tersebut datang dan tentu meminimalisir jumlah korban. “Hal ini saya utarakan agar sadar bahwa di nusantara punya banyak pengetahuan dan ilmu yang belum digali. Rata-rata sekolah yang berpaham bangunan batu, sebagai bentuk mengikuti globalisasi,” tambah pria kelahiran Malang itu.
Ia menekankan, jangan terlalu silau dengan globalisasi. Jangan diartikan sambungnya, yang global saja dibawa ke Indonesia tetapi juga yang Indonesia dibawa ke global. Tidak sedikit bangunan yang sudah adatif dengan kondisi di Indonesia, bisa dibanggakan diantaranya di Sendangsana, Biara Gedono di Salatiga, Gereja di Salam yang tidak menggunakan dinding dan beberapa karya-karya Romo Mangunwijaya.
Tautan : http://berita.suaramerdeka.com