Oleh: Amrizarois Ismail, S. Pd., M. Ling, Dosen Prodi Rekayasa Infrastruktur dan Lingkungan UNIKA Soegijapranata Semarang.
Solusi: revisi dan integrasi Surat Edaran Larangan Mudik 2021.
Mudik merupakan fenomena “urbanisasi pasif” (urbanisasi yang datang menghampiri desa).
Mudik sendiri merupakan budaya yang dapat memicu meningkatnya pergerakan manusia, kontak sosial (kerumunan). Tahun 2020 dan 2021, pemerintah memberlakukan kebijakan larangan mudik. Larangan ini tertuang dalam Surat Edaran Kepala Satgas Penanganan COVID-19 Nomor 13 Tahun 2021 tentang Peniadaan Mudik pada Bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri Tahun 1442 H selama 6-17 Mei 2021.
Pemerintah khawatir kasus positif COVID-19 bisa meningkat. India mencatatkan angka kasus positif COVID-19 harian mencapai 356 ribu jiwa , dengan total kasus mencapai 19,9 juta jiwa, dan total angka kematian mencapai 219 ribu jiwa .
Di Indonesia sendiri angka kasus Positif COVID harian mencapai 5 ribu, dengan total angka positif mencapai 1,68 juta, dan angka kematian hingga 45.796 jiwa. Angka ini masih tergolong tinggi sehingga pemerintah melaui Satgas Penanganan COVID-19 mengeluarkan kebijakan larangan mudik diberlakukan sebagai bentuk antisipasi peluang meningkatnya angka temuan kasus positif COVID-19.
Secara teknis, untuk memaksimalkan kebijakan larangan mudik, pihak-pihak terkait seperti Korps Lantas Polri, Dishub, dll. memberlakukan penyekatan arus kendaraan. Di Jawa, yang menjadi sentral arus mudik misalkan, diberlakukan titik penyekatan arus kendaraan pada tgl 6-17 Mei 2021 di beberapa tempat yang tersebar mulai dari Banten dan Jawa Barat (338 Titik), Jabodetabek (18 titik), Jawa Tengah (14 titik), DIY (10 titik), Jawa timur (13 titik)
Masih ada beberapa dari masyarakat kita yang memutuskan untuk tetap mudik dengan berbagai alasan. Untuk menyiasati penyekatan tersebut, banyak masyarakat yang memilih curi start mudik sebelum tanggal pelarangan (6 Mei 2021). Akan terjadi lonjakan mulai tanggal 20 April 2021, hingga tanggal pelarangan. Indikasi ini terlihat dari ramainya pusat-pusat transportrasi di kota-kota yang menjadi tujuan pemudik.
Sementara itu, nampaknya keberadaan Surat Edaran Larangan Mudik nampaknya menunjukan bahwa pemerintah hanya fokus pada perpindahan manusia dari rantau ke daerah asal saja. Padahal, bukan hanya mudik, setidaknya ada beberapa budaya (Kegiatan rutin) yang dapat menimbulkan pergerakan manusia setiap menjelang dan saat lebaran, antara lain: mudik, berbelanja, silaturahim, dan wisata.
Mudik dan silaturahim mungkin akan berkurang seiring adanya pelarangan. Namun ada 2 (dua) tradisi atau kebiasaan lain yang patut diwaspadai pasalnya juga selalu ampuh dalam menimbulkan pergerakan dan kerumunan manusia, yaitu: tradisi belanja dan wisata.
Larangan mudik ternyata dipandang sebagai peluang bagi pusat perbelanjaan untuk tingkatkan pengunjung. Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja dalam sebuah wawancara media nasional (Kompas.com) menyampaikan bahwa peluang tersebut merupakan hikmah tersendiri bagi para pelaku bisnis perbelanjaan dan diprediksi terjadi lonjakan pengunjung mencapai 30-40%.
Sektor ekonomi memang harus tetap bergeliat, namun tentunya tidak bisa menjadi pembenaran kerumunan berbelanja, tanpa mematuhi protokol kesehatan (prokes). Membiarkan berbelanja tanpa prokes sama dengan membuka peluang menaiknya positif COVID-19.
Begitu juga dengan potensi kerumunan akibat wisata. Meskipun beberapa Pemerintah Kabupaten Kota mengaku telah melakukan himbauan akan hal ini, namun besarnya minat masyarakat nampaknya juga akan berujung pada fenomena sembunyi dari pengawasan dan curi-start.
Berbeda dengan sektor perhubungan dan lalu lintas yang tegas melarang mudik, kita melihat sektor pariwisata berkebalikan dalam menyikapi kerumunan.
Sikap Kemenkraf Sandiaga Uno tampak tetap membiarkan pusat pariwisata untuk tetap buka dengan dalih telah menyiapkan langkah antisipasi lonjakan pengunjung dan sudah mendapat restu dari Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan kebudayaan Muhadjir Effendy.
Dari hal tersebut, pantaslah menimbulkan protes dari kalangan masyarakat, hingga timbul pertanyaan sebetulnya larangan Mudik 2021 ini untuk antisipasi peningkatan angka positif COVID-19 atau stimulasi bagi para pengusaha pusat perbelanjaan dan pariwisata?
Revisi dan Integrasi Surat Edaran
Ketentuan pemerintah pusat melalui Surat Edaran Satgas COVID-19 terkait larangan mudik lebaran 2021 nampaknya tidak cukup untuk mengantisipasi peningkatan kasus positif COVID-19. Hal tersebut ditunjukan sengan maraknya aksi curi start mudik sebelum 6 Mei 2021.
Surat Edaran larangan mudik tidak serta merta menghambat dan atau mengurangi potensi kerumunan manusia pasalnya pelarangan mudik tidak dibarengi dengan aturan ketat pembatasan bagi sektor perbelanjaan dan wisata.
Surat Edaran Larangan Mudik yang tertuang dalam Surat Edaran Satgas COVID-19 perlu segera direvisi dan diintegrsikan dengan setidaknya pengetatan aturan buka bagi pusat perbelanjaan dan pariwisata.
Anggap saja ini sebagai dorongan untuk puasa total bagi semua sektor demi kebaikan bersama. [amri]