CUITAN mengenai kisah nyata persahabatan mahasiswa di dalamnya terdapat nilai empati dan toleransi, yang ditulis seorang dosen Fakultas Psikologi Unika Soegijapranata Lita Widyo Hastuti menjadi viral. Ia mengaku, saat menuliskan cerita tersebut tidak bermaksud untuk membuatnya jadi viral dan hanya mengikuti suara hati.
Cerita yang dituliskan dalam akun Twiter miliknya @WidyoLita, berkisah mengenai empat orang mahasiswa tempatnya mengajar yang berkawan dekat. Keempat mahasiswa tersebut memiliki keyakinan agama yang berbeda, si A yang beragama Islam mengenakan jilbab, si B yang beragama Katolik memakai liontin salib dan beberapa kawan lainnya yang beragama berbeda.
Masih dalam cuitannya, suatu ketika si A yang muslim mengalami kecelakaan dan mengalami luka berat di Semarang. Sahabat-sahabat si A bergegas memberikan bantuan, menunggui si A di rumah sakit dan berupaya agar sahabatnya itu mendapatkan penanganan yang cepat.
Karena tidak ada perkembangan, si A kemudian dirujuk ke Solo ke rumah sakit yang lebih ahli menangani. Tidak lama berselang kabar buruk datang, kaki si A harus direlakan diamputasi. Lita menyempatkan untuk menengok mahasiswanya itu ketika di Solo.
Ia melihat, teman-teman si A sedang berada di rumah sakit, mereka bergiliran meninggalkan kuliah di Semarang menguatkan si A dan orangtuanya yang sedang mendampingi putrinya. Tampak beberapa terlihat kelelahan tetapi berusaha menyembunyikannya, bersama-sama makan nasi bungkus di selasar rumah sakit.
Tuhan berkehendak lain, si A meninggal dalam perawatan di rumah sakit tersebut. Jenazah dibawa pulang ke rumah duka, di sebuah kota kecil di timur Semarang. Lita mengaku, tidak mampu menggambarkan wajah-wajah duka anak didiknya, ia juga tidak bisa berkata-kata dan hanya menepuk-nepuk pundak anak-anak muda itu satu demi satu.
Selang sekitar satu tahun kemudian, teman-teman si A lulus dan menyiapkan acara khusus untuk mendoakan sahabatnya itu. Teman-teman si A merasa bahwa sosok A itu sangat memberikan semangat kepada mereka.Hadir orangtua si A yang relasinya makin kuat dengan sahabat putrinya. Lita dalam cuitannya, mengaku salut dan cinta kepada anak-anak muda hebat di mana pun mereka berada. “Saya rindu Indonesia yang toleran,” tulisnya.
Masih dalam cuitannya, ia mengaku rindu anak-anak muda seperti kawan-kawan si A yang mempunyai mata bening tidak terkotori perbedaan, yang mempinyai hati jauh lebih luas dibanding sekedar sekat agama dan ras yang seringkali membutakan.
Dosen Psikologi Unika Soegijapranata itu mengaku, menulis tread tersebut ketika sedang dalam perjalanan dari Semarang menuju Yogyakarta, pada Selasa (28/1) lalu. “Sekitar antara Ambarawa sampai Sleman,” katanya saat dihubungi suaramerdeka.com, Jumat (31/1).
Fenomena di sekitarnya, banyaknya gesekan antar golongan yang selalu terjadi membuatnya resah. Ia ingin, orang membuka hatinya lebih lebar agar melihat cerita-cerita kecil sederhana di sekeliling, di mana tidak melihat sekat agama, golongan, suku dan ras.
https://www.suaramerdeka.com/news/baca/215827/lita-hanya-ikuti-suara-hati