Penulis: Amrizarois Ismail, Dosen Prodi RIL UNIKA Soegijapranata Semarang, Direktur Griya Riset Indonesia
Beberapa hari lalu kita dikejutkan dengan pemberitaan meletusnya konflik wadas. Benturan yang terjadi antar masyarakat dan aparat kepolisian tersebut, usut punya usut disebabkan karena penolakan masyarakat setempat terhadap rencana penambangan batuan andesit di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Purworejo guna urukan material pembangunan Bendungan Bener yang tengah diselesaikan pemerintah.
Bendungan atau waduk tersebut merupakan satu dari banyaknya proyek infrastruktur nasional (PSN) yang telah ditetapkan melalui Prepres No. 56 Tahun 2018 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Desa Wadas di Kecamatan Bener adalah lokasi yang akan dibebaskan lahannya dan dijadikan lokasi pengambilan bahan material berupa batuan andesit untuk tujuan pembangunan Bendungan Bener. Berdasarkan amdal proyek bendungan Bener, lahan yang akan dieksploitasi untuk lokasi quarry (bahan material) seluas 145 hektar dan 8,64 hektarnya untuk jalan akses pengambilan material. Penambangan akan dilakukan menggunakan metode blasting (peledak) yang diperkirakan menghabiskan 5.300 ton dinamit. Warga menolak penambangan karena mengancam keberadaan 27 sumber mata air di Desa Wadas yang berarti juga berpotensi merusak lahan pertanian warga. Rencananya, Bendungan Bener menjadi yang tertinggi di Indonesia, dengan ketinggian waduk 159 meter, panjang timbunan 543 meter, dan lebar bawah sekitar 290 meter. Akan menjadi bendungan tertinggi di Indonesia. Sumber air bendungan berasal dari aliran Sungai Bogowonto (dilasir dari Tribun Jateng).
Beberapa konflik penolakan warga sempat terjadi, hingga puncaknya meletuslah konflik saat pengukuran paksa tanah warga oleh BPN yang dikawal pasukan kepolisian. Kompas.com memberitakan, pada 8 februari 2022 dilakukan pengukuran tanah secara paksa dengan pengawalan ketat aparat kepolisian dengan ratusan personil dan perlengkapan huru-haranya. Jalannya pengukuran diwarnai tindakan represif aparat kepolisian dengan melakukan pengepungan rumah dan tempat ibadah, juga menangkapi beberapa warga yang notabene menolak adanya penambangan tersebut.
Tidak kali ini saja Peristiwa pengambil alihan paksa lahan warga yang berujung konflik semacam ini terjadi, di tahun-tahun terakhir juga terjadi konflik yang melibatkan petugas kepolisian dengan masyarakat yang juga dipicu atas penolakan beberapa pembangunan proyek strategis nasional diantaranya Konflik semen pembangunan pabrik semen di Kendeng, Konflik pembangunan bandara internasional Yogyakarta, Pembangunan PLTU di Batang, belum juga dengan lunaknya sikap pemerintah terhadap kasus-kasus pelanggaran lingkungan yang dilakukan oleh para swasta sebagaimana deforestasi dan pembakaran hutan di kalimantan dan luar jawa lainya. Begitu banyak penolakan masyarakat terhadap proses pembangunan proyek pemerintah yang paling sering ditengarai atas kehawatiran akan rusaknya bentang alam yang memiliki fungsi fatal terhadap ekosistem. Meskipun pemerintah mengklaim telah menjalankan prosedur pembangunan dan mematuhi prinsip-prinsip perijinan lingkungan, lantas mengapa penolakan selalu terjadi seolah pemerintah kehilangan kepercayaan dari masyarakat terkait?.
Perlunya Evaluasi proses pembangunan dan pendekatan.
Sejak lama pembangunan di Negri ini berjalan, selain membawa kemajuan di segala sektor, patut kita akui juga tidak sedikit permasalahan yang muncul menikutinya. Lingkungan menjadi salah satu sektor yang selalu dikorbankan keberadaanya demi memenuhi hasrat membangun, dan sering kali permasalahan lingkungan tidak terselesaikan dengan tuntas meskipun proyek pembangunan itu telah selesai.
Selama ini dalam menyelesaikan sengketa lingkungan, pemerintah sering kali menggunakan model pendekatan pragmatis dengan membayar kompensasi kerugian, dan bahkan sering kali menggunakan pendekatan represif dengan membenturkan aparat keamanan dengan masyarakat. Praktik yang berlangsung sejak orde baru dan kini terus lestari, seolah menunjukan ketidak seriusan pemerintah untuk mengevaluasi proses pembangunan dan model pendekatan yang primitif ini.
Pembangunan memanglah sebuah keniscayaan. Hal tersebut juga tertuang dalam prinsip keberlanjutan kehidupan yang tertuang dalam Sustainable Development Goals (SDG’s), bahwa sanya untuk mencapai keberlanjutan kehidupan, diperluhkan keselarasan antara Perlindungan lingkungan (Environmental Protection), Pembangunan Kesejahteraan Masyarakat (Community Development), dan Pertumbuhan ekonomi (Economic Growt). Untuk mencapai keseimbangan tersebut, pembangunan haruslah melibatkan seluruh aktor pembangunan agar memungkinkan adanya check and balance terhadap satu keputusan, diantara aktor tersebut adalah Pemerintah sebagai manivestasi negara, pemodal atau swasta, dan masyarakat sipil.
Apa yang terjadi di wadas adalah cerminan adanya monopoli dalam pembangunan, yang mana masyarakat sipil menjadi kelompok yang tidak mendapat haknya dalam pengambilan keputusan, sedangkan Negara dan Pemodal menjadi kelompok superior yang selalu mendominasi sebuah hasil keputusan. Hal inilah yang terjadi dalam konflik wadas dan juga konflik lingkungan lainya seperti konflik pembangunan pabrik semen kendeng, bandara ingternasional Yogyakarta, dan lainya, yang mana masyarakat dipaksa menyetujui penyerahan hak akan tanahnya, apabila menolak akan dianggap membangkang dan negara berhak merebut paksa hak akan tanahnya. Kondisi semacam ini seolah terus berulang dan kemudian menggerus kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, jika pemerintah sebagai aktor utama tidak melunak dan mengevaluasi kekolotannya terhadap paradigma dan pendekatan dalam menjalankan pembangunan, niscaya akan terus terbentuk pobia tersendiri terhadap pembangunan hingga muncul sikap curiga, menolak dan antipati. Mari kita saksikan akan ada konflik apalagi setelah ini.
#Sumber: https://www.rumahkabar.com/2022/02/masalah-wadas-masalah-distrust.html