SEMARANG (KRjogja .com)– Fakultas Psikologi Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata Semarang menggelar seminar tentang "Epilepsi, Kondisi Neuropsikologis dan Pendampoingan Psikologis" di kampus Bendan Duwur.
Dekan Fak Psikologi Unika Soegijparanata Dr Margaretha Sih Setija Utami di sela-sela seminar menyatakan, pembicara terdiri dosen Fak Kedokteran UGM/RSUP Dr Sardjito Yogya Dr Indria Laksmi Gamayanti Msi Psikologi dan Dr Marc PH Hendriks (Donders Institute for Brain, Cognition and Behaviour, Radboud University, Nijmegen, Belanda.
Menurut Dr Indria Laksmi Gamayanti dan Dr Marc PH Hendriks, saat ini penyandang penyakit epilepsi di dunia cukup tinggi, dengan prevalensi 1-2 % dari total populasi. Data WHO beberapa tahun lalu menyebut angka 4 sampai 10 orang per 1.000 penduduk dan untuk negara berkembang jumlah prevalensinya lebih tinggi mencapai 6-10 orang per 1.000 penduduk.
“Kasus baru epilepsi 40 sampai 70 orang per 100.000 orang di negara maju serta dua kali lipatnya di negara berkembang. Sehingga masyarakat maupun pemerintah perlu mengambil langkah-langkah penting untuk penanganan penderita epilepsi termasuk perlunya kalangan guru maupun sekolah lebih memahami kondisi penderita epilepsi dari kalangan siswa. Ditengarai masih ada guru maupun sekolah yang belum paham tentang epilepsi sehingga belum bisa menangani secara baik kalau siswa penyandang epilepsi mengalami serangan di sekolah” ujar salah satu poin dari kedua pembicara tersebut.
Menurut Dr Indria Laksmi Gamayanti, diperlukan pendekatan psikologis pada anak-anak penyandang epilepsi. Dan tidak bisa hanya pada si anak saja melainkan juga pada orang tua, keluarga, guru dan sekolah. Guru dan sekolah harus memahami betul kondisi penyandang epilepsi jangan sampai menjadi objek tontonan, ejekan atau hal negatif lainnya pada siswa penyandang epilepsi. Guru dan sekolah harus benar dalam pemahaman epilepsi.
Sedang menurut Dr Marc Hendriks, saat ini sedikitnya ada 250 jenis epilepsi dan tiap tahunnya selalu bertambah jumlahnya sejalan dengan ditemukan jenis-jenis penderita baru. Namun kesamaan dari berbagai jenis itu ditandai dengan adanya kerusakan otak penderita karena berbagai faktor, termasuk kemungkinan akibat diabetis.
Ahli neoropsikologi klinis ini menyebut tidak ada perbedaan gender (apakah wanita atau pria) bisa terkena epilepsi dan masa anak-anak lebih besar kemungkinanya sebagai penyandang epilepsi (terkena serangan) dibanding orang dewasa. (Sgi)
sumber : krjogja.com