Oleh Aloys Budi Purnomo Pr, Ketua Komisi Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan Kevikepan Semarang, Pastor Campus Ministry Unika Soegijapranata Semarang.
PADA masa pandemi Covid-19 yang belum berakhir, bahkan tampaknya kembali meningkat, kita bersyukur atas para pemuka agama yang teduh, merangkul umat dan masyarakat. Sejak awal pandemi tahun lalu, di Jawa Tengah, kami para pemuka agama (Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghucu) berdoa bersama agar bangsa ini dilindungi Tuhan. Di Kota Semarang, juga dilakukan upaya serupa, bahkan melibatkan pemuka Penghayat Kepercayaan.
Saya bersyukur atas fakta positif ini, meski dalam hal Covid-19 kita selalu berharap negatif. Pengalaman melayani umat dan masyarakat itulah, yang selama dua puluh lima tahun terakhir ini boleh saya emban sebagai romo pastor Katolik. Tanggal 8 Juli 2021, saya mensyukuri Pesta Perak Imamat yang dianugerahkan Tuhan. Tanggal 8 Juli 1996, bersama sembilan rekan lainnya, saya menerima Tahbisan Imamat melalui Bapak Julius Kardinal Darmaatmadja SJ di Kapel St Paulus Seminari Tinggi St Yogyakarta sebagai Imam Diosesan Keuskupan Agung Semarang (KAS), untuk melayani sebagian besar wilayah Jawa Tengah dan seluruh Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dari dua puluh lima tahun perjalanan pelayanan imamat saya, 17 tahun sendiri, saya diperkenankan mencurahkan pelayanan saya bukan hanya kepada umat Katolik, melainkan juga kepada masyarakat luas melalui karya kerasulan jurnalistik. Selain itu, reksa pastoral imamat saya juga diwarnai perutusan dan karya pelayanan dalam membangun dan mewujudkan kerukunan umat beragama dan kepercayaan dalam konteks negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Ini terjadi ketika dalam 11 tahun saya mendapat amanat sebagai Ketua Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan KAS, Mei 2008-Maret 2019. Dalam satu dekade ini, saya juga mendapat rahmat perutusan sebagai bagian dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi Jawa Tengah (lima tahun pertama sebagai wakil ketua, lima tahun kedua sebagai anggota).
Pelayan ini pun membentuk dan mewarnai hidup saya sebagai romo pastor Katolik. Pelayanan saya tidak hanya terjadi secara internal dalam pelayanan liturgis-peribadatan-sakremental, melainkan juga dalam pelayanan sosial-kemasyarakatan, khususnya dalam rangka merajut kerukunan dan persaudaraan lintasagama dengan siapa pun dan di mana pun.
Hidup imamat saya juga diwarnai pelayanan pendidikan. Pertama, perutusan sebagai Staf dan Rektor Seminari Tinggi St Petrus Pematangsiantar di Sumatra Utara, pada masa-masa menjelang Lustrum Pertama Imamat saya. Kemudian, menjelang Lustrum Kelima, saya kembali diutus dalam karya pelayanan pendidikan lagi di Unika Soegijapranata Semarang, sebagai Pastor Campus Ministry, dan sebagai mahasiswa pada Program Doktor Ilmu Lingkungan.
Dengan demikian, lima tahun pertama hidup imamat saya berada dalam karya pendidikan, entah sebagai mahasiswa teologi, sambil nyambi mengajar di Universitas Atma Jaya Yogyakarta, di Fakultas Teologi Wedabhakti Yogyakarta, di Pertapaan St Maria Rowoseneng-Temanggung, dan di Seminari Tinggi Pemantangsiantar, Sumut.
Lima tahun terakhir menjelang Pesta Perak Imamat, kembali saya mengemban perutusan di dunia pendidikan sebagaimana sudah saya sebutkan. Itu menjadi inklusi Pesta Perak Imamat yang dianugerahkan Tuhan Yang Maha Esa kepada saya.
Mewujudkan Kerukunan
Adalah kebahagiaan saya, boleh melayani umat dan masyarakat untuk mewujudkan kerukunan, perdamaian, dan persaudaraan tanpa diskriminasi, termasuk selama masa pandemi, pendampingan dan reksa pastoral bagi umat dan masyarakat yang terpapar virus korona. Selain doa bersama para pemuka agama, saya bersyukur boleh bersama para pemuka lintasagama lainnya mendoakan, meneguhkan, menyemangati, dan menghibur warga masyarakat yang terpapar virus korona yang dirawat di rumah dinas Wali Kota Semarang. Dengan segala konsekuensinya, inilah bagian dari pelayanan terhadap masyarakat.
Dalam rangka membangun dan mewujudkan kerukunan dan semangat persaudaraan sebagai warga bangsa, saya bersyukur boleh menginiasi sebuah Kongres Persaudaraan Sejati Lintasagama yang dilaksanakan di Muntilan, 24-26 Oktober 2014. Melibatkan hampir seribu peserta lintasagama, kami beredukasi kebangsaan dalam keberagaman bersama Ibu Hj Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, Buya Syafii Maarif, Bante Sri Pannyavaro Mahatera, mendiang Mgr Johannes Pujasumarta, Abdis Martha E Driscoll, OCSO, I Wayan Sumerta, Tokoh Perempuan Konghucu Ling Ling, Elga Sarapung, dan Gunritno. Pengalaman itu menjadi tonggak sejarah dari sisi Gereja Keuskupan Agung Semarang yang lima tahun kemudian dilanjutkan dalam Srawung Orang Muda Lintasagama di Semarang, 26-28 Oktober 2018.
Dua pengalaman itu menjadi momen terpenting dalam melayani umat dan masyarakat untuk mewujudkan kerukunan dalam keberagaman tanpa diskriminasi. Kini, di tengah pandemi yang melanda dunia, termasuk bangsa kita, saya hanya bisa selalu berdoa, bersama banyak sahabat lintasagama, agar kita semua tetap terjaga dan terlindungi sebagai warga bangsa.
Jauh dari sikap provokatif melawan pemerintah dalam melindungi warganya di masa pandemi, bersama para sahabat dan pemuka lintasagama, saya terus mengajak agar kita bersama mengatasi pandemi ini sebagaimana sudah ditentukan oleh pemerintah. Terima kasih kepada umat dan masyarakat dalam kerja sama yang baik selama dua puluh tahun perjalanan dan pelayanan saya sebagai romo pastor Katolik. Tuhan Yang Maha Esa memberkati dan melindungi kita semua. (40)
––https://www.suaramerdeka.com/opini/pr-04426705/melayani-umat-dan-masyarakat?page=all