Oleh: Andreas Lako
SETELAH terus meningkat selama Maret 2017 – Maret 2018, Rasio Gini Jateng kembali menurun drastis pada September 2018. Berdasarkan Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) Jateng yang diumumkan pada 15 Januari 2019, Rasio Gini yang terus naik dari 0,357 (Maret 2017) menjadi 0,378 (Maret 2018) sehingga membuat penulis khawatir dan mengingatkan pemerintah untuk mewaspadainya (lihat artikel wacana ”Mewaspadai Ketimpangan Ekonomi” di (Suara Merdeka, 11/1), pada September 2018 dinyatakan menurun menjadi 0,357. Penurunan itu bertolak belakang dengan prediksi penulis bahwa Rasio Gini Jateng pada September 2018 bakal meningkat lagi mengingat kinerja ekonomi Jateng pada 2018 bakal bertumbuh di atas 5,4%, lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya.
Meskipun mengagetkan, penurunan Rasio Gini tersebut patut disambut gembira karena merupakan good news bagi pemerintah dan seluruh rakyat Jateng. Penurunan itu memiliki banyak makna positif. Pertama, Rasio Gini 0,357 memiliki makna ketimpangan ekonomi antarkelompok masyarakat Jateng termasuk rendah.
Dari laporan BPS, terlihat bahwa ketimpangan ekonomi antara masyarakat kota dan desa kian menyempit. Rasio Gini antara kota dan desa yang pada Maret 2018 masih cukup tinggi yaitu 0,40 berbanding 0,336, pada September 2018 menurun menjadi 0, 378 berbanding 0,315.
Yang juga cukup mengembirakan adalah terjadinya kenaikan yang signifikan distribusi pengeluaran kelompok penduduk 40% terbawah atau penduduk miskin. Distribusi pengeluaran kelompok ini, yang sempat menurun sejak Maret 2017 hingga Maret 2018 (17,9%) sehingga Jateng masuk dalam kategori ketimpangan menengah, pada September 2018 justru meningkat kembali menjadi 18,65% atau masuk dalam ketimpangan rendah.
Kedua, penurunan Rasio Gini yang cukup signifikan pada September 2018 mengindikasikan bahwa arah, strategi, kebijakan dan pelaksanaan pembangunan Jateng 2013-2018 telah berada pada jalur yang tepat. Dengan kata lain, rencana dan pelaksanaan pembangunan Jateng periode itu dapat dikatakan berkualitas dan berkeadilan.
Secara teoretis, pembangunan suatu negara atau daerah dikatakan arahnya tepat dan hasilnya berkualitas apabila hasil pembangunan itu mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi di satu sisi, di sisi lain dampak positif dari pembangunan tersebut mampu menurunkan jumlah kemiskinan dan pengangguran, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan rakyat, dan mempersempit ketimpangan sosial-ekonomi antarkelompok masyarakat ataupun ketimpangan antarwilayah.
Berkeadilan
Secara umum, hasil studi Lako (2019) menunjukkan bahwa hasil pembangunan Jateng periode 2013-2018 cukup efektif meningkatkan pertumbuhan ekonomi di atas 5,2 persen dan memberikan dampak-dampak positif terhadap penurunan kemiskinan dan pengangguran, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan rakyat, dan mempersempit ketimpangan sosial-ekonomi maupun ketimpangan antarwilayah.
Karena itu, arah, strategi, kebijakan dan tata kelola pelaksanaan pembangunan daerah Jateng periode 2013-2018 sudah tepat dan berkualitas sehingga perlu dilanjutkan periode 2019-2023 dengan fokus, kapasitas dan intensitas yang lebih besar lagi.
Hal tersebut sangat penting karena jumlah kemiskinan dan pengangguran di Jateng masih cukup besar. Jumlah kemiskinan dan pengangguran di perkotaan dan perdesaan per September 2018 masih cukup besar sehingga ke depan perlu evaluasi dan pemetaan secara khusus. Juga perlu inovasi strategi dan kebijakan program serta dukungan pendanaan dan sumberdaya yang memadai. Pembangunan infrastruktur, UMKM, pendidikan dansektor pembangunan yang krusial dan strategis hendaknya juga perlu dilanjutkan.
Hal lain yang juga perlu diwaspadai dan dicermati pemerintah adalah berkenaan dengan ketimpangan kota dan desa. Saya mencermati, pengucuran dana desa dan dana kelurahan serta lainnya yang cukup besar dari pemerintah pusat secara umum telah mulai memberikan dampak positif yang berarti pada penurunan kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan sosial-ekonomi, serta meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat.
Namun, saya juga khawatir dampak positif tersebut sangat mungkin lebih banyak dinikmati oleh kelompok masyarakat kelas menengah ke atas yang lebih responsif dibanding kelompok masyarakat kelas bawah yang cenderung pasif akibat dililit oleh berbagai faktor psikologis, lingkungan, dan lainnya. Apabila hal ini memang yang sesungguhnya terjadi selama ini di lapangan maka bisa jadi ketimpangan sosialekonomi antar kelompok masyarakat di wilayah perkotan maupun wilayah perdesaan akan menjadi persoalan serius dan pelik bagi Jateng ke depan. Hal ini patut diantisipasi oleh pemerintah.
Semoga catatan kritis di atas dapat menjadi masukan berarti bagi pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, DPRD serta pihak- pihak terkait dalam penyusunan dan pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2019-2023 yang semakin berkualitas. (40)
—Andreas Lako,Guru Besar Akuntansi, Ketua Program Doktor Ilmu Lingkungan Unika Soegijapranata Semarang.
►https://www.suaramerdeka.com/smcetak, Suara Merdeka 31 Januari 2019 hal. 4