Oleh: ANDREAS LAKO
Dalam beberapa bulan terakhir, sejumlah pihak mengkritik Presiden Jokowi dan Menkeu Sri Mulyani Indrawati terkait kenaikan utang pemerintah yang makin besar dalam tiga tahun terakhir.
Jumlah utang yang telah mencapai Rp 4.407,05 triliun (2017) dinilai sangat berisiko dan membahayakan keuangan negara. Kebijakan Presiden Jokowi meningkatkan anggaran pembangunan infrastruktur secara signifikan dinilai akan menjerumuskan negara dalam kesulitan keuangan yang serius. Karena itu, sejumlah pihak, termasuk mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), mendesak Presiden Jokowi segera mengontrol utang pemerintah agar tidak menjerumuskan negara ke dalam krisis yang serius di masa datang.
Realistiskah desakan itu? Untuk menjawab pertanyaan itu, saya melakukan analisis Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2008-2017. Hasil analisis menunjukkan desakan tersebut tidak realistis dan sangat sulit dilaksanakan. Mengapa?
Tren utang pemerintah
Berdasarkan hasil analisis, tren utang pemerintah ternyata terus meningkat dari tahun ke tahun dalam 10 tahun terakhir. Utang selama pemerintahan SBY-Boediono (2009-2014) terus naik dari Rp 1.693,69 triliun (2008) menjadi Rp 2.898,38 triliun (2014) atau naik Rp 1.204,69 triliun (71,13 persen).
Sementara dalam tiga tahun pemerintahan Jokowi-Kalla (2015-2017), utang pemerintah juga terus naik hingga Rp 4.407,05 triliun (2017) atau naik Rp 1.508,67 triliun (52,05 persen). Dengan kata lain, dari jumlah utang pemerintah pada akhir 2017, sebesar 65,77 persen berasal dari warisan pemerintahan SBY-Boediono dan sebelumnya.
Dari hasil analisis leverage, posisi rasio utang terhadap aset (debt to asset ratio/ DAR) pemerintah selama 10 tahun terakhir ternyata juga sangat tinggi. Pada 2008, DAR pemerintah adalah 82 persen, lalu turun menjadi 74 persen (2014). Selama 2015-2017, DAR sempat menurun menjadi 68 persen (2015), tapi naik lagi menjadi 71 persen (2016) dan 74 persen (2017). Dari besaran DAR, terlihat beban pemerintahan Jokowi-Kalla dalam mengelola utang sangat berat. Potensi pemerintah mengalami kesulitan keuangan pada saat jatuh tempo pembayaran utang tampak sangat besar.
Pertanyaan krusialnya, mengapa jumlah utang pemerintah sangat besar dan terus membengkak dari tahun ke tahun? Apa penyebab utamanya?
Penyebabnya, akumulasi defisit APBN dari tahun ke tahun terus meningkat. Selama era SBY-Boediono (2009-2014), APBN selalu defisit di mana realisasi jumlah belanja selalu lebih besar dibandingkan realisasi pendapatan. Pada 2009, jumlah defisit APBN Rp 88,62 triliun (10 persen) dan meningkat lagi menjadi Rp 226,69 triliun pada 2014. Sementara pada era Jokowi-Kalla, defisit APBN meningkat menjadi sebesar Rp 298,49 triliun (2015), Rp 308,34 triliun (2016), dan sebesar Rp 345,8 triliun (2017).
Karena cadangan kas negara sangat terbatas, untuk menutup defisit tersebut pemerintah menempuh kebijakan utang. Misalnya, defisit APBN 2009 ditutup dengan utang Rp 112,58 triliun dan defisit APBN 2014 ditutup dengan utang Rp 248,89 triliun. Sementara defisit APBN 2015-2017 masing-masing ditutup dengan utang sebesar Rp 323,1 triliun, Rp 334,4 triliun, dan Rp 340,97 triliun.
Karena APBN selalu defisit dan untuk menutupnya adalah dengan berutang, akibatnya akumulasi utang pemerintah dari 2009 hingga 2017 terus naik signifikan. Jadi, sangat keliru apabila sejumlah pihak hanya menyalahkan pemerintahan Jokowi-Kalla terkait besarnya beban utang pemerintah saat ini.
Pertanyaan krusial berikutnya adalah apakah defisit APBN dapat ditutup dengan sumber-sumber pendapatan lain selain utang? Jawabnya, sangat sulit!
Alasannya, jumlah cadangan kas dan setara kas serta surat-surat berharga likuid yang dimiliki pemerintah setiap tahun sangat tidak memadai untuk menutup defisit APBN yang kian besar. Bahkan, aset lancar juga tidak mampu untuk menutup utang jangka pendek yang harus segera dibayar. Rasio lancar (current ratio), yaitu aset lancar dibagi kewajiban lancar, selama 2012-2017 selalu di bawah 1 alias tidak cukup untuk membayar utang jangka pendek yang harus segera dibayar. Itulah sebabnya, setiap tahun pemerintah selalu mengajukan utang baru dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan defisit APBN. Kelebihan itu digunakan untuk menutup kekurangan pembayaran utang jangka pendek pada periode tahun berjalan.
Memahami defisit APBN
Perlu diketahui, penyebab defisit APBN terus membengkak adalah karena sejak awal penyusunan RAPBN, pemerintah dan DPR sepakat menganut sistem defisit anggaran (deficit policy), yaitu jumlah anggaran belanja yang ditargetkan lebih besar daripada jumlah anggaran pendapatan. Misalnya, defisit APBN 2009 ditargetkan Rp 132 triliun, sedangkan dalam APBN 2014 ditargetkan Rp 241,5 triliun. Pada 2015, defisit APBN ditargetkan Rp 257 triliun, sedangkan pada APBN 2017 ditargetkan Rp 397,2 triliun.
Dalam realisasinya, defisit APBN bisa lebih tinggi atau lebih rendah dari target. Misalnya, realisasi defisit APBN 2009 dan APBN 2014 masing-masing adalah Rp 87,2 triliun dan Rp 227,4 triliun. Sementara pada 2015 dan 2017, realisasi defisitnya adalah Rp 318,5 triliun dan Rp 340,97 triliun. Dari perspektif keuangan, realisasi defisit APBN 2013-2017 sesungguhnya naik signifikan, yaitu dari 14,6 persen (2014) menjadi 19,8 persen (2015-2016) dan 20,5 persen (2017).
Pertanyaannya, apakah pemerintah dapat menekan secara signifikan defisit APBN dengan cara menekan pos-pos belanja negara dan meningkatkan pos-pos pendapatan negara? Jawabnya, sangat sulit! Mengapa?
Berdasarkan hasil analisis APBN 2008-2017, terlihat tren realisasi pendapatan negara memang terus meningkat sejak 2009 (Rp 848,76 triliun) hingga 2014 (Rp 1.550,49 triliun), lalu menurun pada 2015 (Rp 1.508,02 triliun) dan kemudian meningkat lagi pada 2016 (Rp 1.555,93 triliun) dan 2017 (Rp 1.666,37 triliun). Namun, tren peningkatan tersebut jauh lebih rendah dibandingkan tren peningkatan belanja negara. Bahkan, sebagai konsekuensi logis dari kenaikan signifikan anggaran infrastruktur selama 2015-2017, kesenjangan tren kenaikan pendapatan negara dengan tren kenaikan belanja negara kian melebar. Itulah sebabnya, jumlah defisit APBN kian membengkak dan menggerus ekuitas dana neto negara.
Dari tren kenaikan yang relatif kecil dalam 10 tahun terakhir, opsi solusi untuk menaikkan pendapatan secara signifikan pada 2018-2019 sangat sulit diwujudkan Presiden Jokowi. Sementara itu, untuk mengendalikan kenaikan belanja negara tampaknya juga sangat sulit dilakukan pada APBN 2018 dan 2019 karena tren kenaikan belanja selama 2008-2017 juga terlihat terus meningkat dari tahun ke tahun.
Selain itu, meniadakan atau mengefisienkan sejumlah pos belanja negara, apalagi menyangkut pos-pos krusial dan strategis, akan menimbulkan berbagai implikasi negatif secara ekonomi dan sosial-politik yang amat kompleks bagi bangsa dan negara. Karena itu, Presiden Jokowi pasti tidak akan menempuh opsi mengontrol utang dengan menekan belanja negara. Selain membahayakan bangsa dan negara, pilihan opsi itu juga akan membahayakan keinginan Jokowi terpilih lagi dalam Pilpres 2019.
Untuk investasi strategis
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa desakan sejumlah pihak agar Presiden Jokowi mengontrol utang pemerintah tidak realistis dan
sulit dilaksanakan. Selain karena posisi keuangan dan kinerja keuangan pemerintah sangat tidak memadai (lemah), Presiden Jokowi juga telah bertekad terus mewujudkan Nawacita pemerintahannya dalam upaya membangun, memajukan, dan mentransformasikan Indonesia menuju negara yang maju, sejahtera, adil, dan mandiri berlandaskan Pancasila.
Realisasi tekad itu menyerap pendanaan yang sangat besar. Karena ketersediaan sumber daya pendapatan negara terbatas, pendanaan pembangunan melalui utang menjadi solusi terbaiknya.
Selain itu, Presiden Jokowi juga sangat tidak mungkin mau menghentikan pembangunan proyek-proyek infrastruktur strategis yang telah direncanakan hanya karena kendala utang pemerintah yang kian membengkak. Bagi Jokowi, utang merupakan solusi terbaik dan strategis untuk investasi strategis dalam upaya memajukan bangsa dan mentransformasikan Indonesia menuju negara maju.
Investasi strategis itu juga dimaksudkan untuk meningkatkan secara signifikan pendapatan dan surplus keuangan negara yang besar di masa-masa mendatang. Dengan begitu, negara akan memiliki posisi keuangan yang kokoh dalam membayar utang, membiayai belanja rutin, dan berinvestasi membangun bangsa.
Satu hal yang juga patut diketahui, kenaikan utang tahunan pemerintah yang cukup besar selama 2015-2017 ternyata tidak hanya digunakan untuk kepentingan menutup defisit APBN dan membayar utang tahunan. Utang tersebut juga digunakan untuk membiayai investasi strategis jangka panjang dalam upaya mendorong kemajuan bangsa dan kesejahteraan rakyat di seluruh Indonesia. Pembangunan infrastruktur secara besar-besaran hampir merata di seluruh Indonesia adalah salah satu bentuk investasi strategis tersebut.
Hal itu, misalnya, tecermin dari kenaikan investasi jangka panjang. Dalam LKPP 2008-2017 terjadi kenaikan signifikan investasi jangka panjang dari Rp 1.309,92 triliun pada 2014 (naik 10,69 persen) menjadi Rp 2.223,8 triliun pada 2015 (naik 69,77 persen) dan menjadi Rp 1.411,82 triliun pada 2016 (naik 8,5 persen) dan Rp 2.640.04 triliun (naik 8 persen).
Nilai aset tetap dan aset lain-lain juga terus naik signifikan. Pada 2018-2019, kenaikan investasi strategis tersebut akan semakin besar lagi karena anggaran investasi infrastruktur dan proyek-proyek strategis lainnya dalam APBN 2018-2019 terus naik.
Andreas Lako Guru Besar Akuntansi; Ketua Program Doktor Ilmu Lingkungan Unika Soegijapranata, Semarang
►https://kompas.id, Kompas 18 Juni 2018 Hal. 6