oleh: Benny Danang Setianto, buruh pengajar dan peneliti Fakultas Hukum dan Komunikasi Unika Soegijapranata.
“Pemanfaatan teknologi pembelajaran yang benar akan lebih memerdekakan kampus daripada sekadar membuat mereka dimagangkan ke dunia industri tanpa dibekali terlebih dahulu dengan sikap mental yang tepat”
SETIDAKNYA-TIDAKNYA ada dua kondisi yang saat ini dirasakan dalam pendidikan tinggi di Indonesia. Pertama, badai pandemi Covid-19 yang belum juga berakhir setelah berjalan lebih dari satu setengah tahun, dan kedua adalah gagasan yang terus digaungkan untuk diwujudkan dalam kebijakan mendekatkan dunia industri dan pendidikan melalui Merdeka Belajar Kampus Merdeka.
Tulisan ini akan memaparkan bagaimana kelindan kedua hal tersebut dalam praktik pendidikan tinggi saat ini.
Kemerdekaan Semu
Berbeda dari tingkatan pendidikan sebelumnya, para peserta didik di tingkat pendidikan tinggi secara alamiah adalah mereka yang sudah dapat digolongkan sebagai usia dewasa mula (early adulthood).
Dalam usia itu, keinginan untuk diperlakukan sebagai manusia dewasa sudah mulai muncul, sehingga mendorong pendidikan yang menciptakan kemandirian tidak bisa dihindarkan.
Hal ini terwujud dalam pola pendidikan yang tidak lagi seperti pola ”drilling” dengan memaksa mereka menggunakan seragam dan hadir setiap hari dalam kelas untuk waktu tertentu.
Mereka sudah diberi keleluasaan untuk bisa menentukan mata kuliah yang akan diambil dan waktu yang disediakan. Pendidik tidak setiap saat harus memastikan bahwa anak didiknya berada di kelas di tiap pertemuan.
Meski di Indonesia masih ada ketentuan jumlah kehadiran minimal, tetapi di banyak negara syarat itu sudah dihilangkan. Kemandirian tersebut juga terlihat dalam pola interaksi hak dan kewajiban yang lebih menekankan kepada konsekuensi dan bukan keharusan.
Dosen tidak lagi ìmengejarî mahasiswanya untuk mengerjakan tugas, namun hanya menunjukkan konsekuensi jika mahasiswa tidak mengerjakan tugasnya.
Dengan kata lain, sebenarnya sejak awal mula, pendidikan di perguruan tinggi sudah dijiwai dengan nilai-nilai kemerdekaan bagi para peserta didiknya. Kampus hanya memberikan tawaran-tawaran yang membantu peserta didik memahami ilmu yang memang dipilihnya secara mandiri.
Hanya, dalam menjalankan kemandirian dan kebebasan yang dimilikinya, peserta didik diasumsikan memang memiliki semangat dan keinginan untuk mendalami dan memahami ilmu pengetahuan dan mengembangkan keterampilan mereka. Kenyataannya, sejak pertama kali memilih program studi atau jurusan, banyak peserta didik tidak mendasarkan kepada keinginan dan hasratnya pribadi untuk mengembangkan diri melalui pengetahuan dan keterampilan tersebut, tetapi lebih karena keinginan orang tuanya atau bahkan sekadar ikut temantemannya.
Akibatnya, mereka masih menggunakan pola pendidikan di tingkat sebelumnya. Kuliah adalah kewajiban, sebagai lanjutan setelah lulus SMA/SMK. Keterlibatan mereka dalam proses pembelajaran hanya untuk memenuhi kewajiban yang dibuat oleh dosen atau kampusnya dengan tujuan mendapatkan nilai yang baik. Lebih parahnya, dosen dan sistem pembelajaran di kampus juga melakukan seperti di tingkat pembelajaran sebelumnya.
Asal sudah menyampaikan materi yang dituliskan dalam silabus dianggap sudah menjalankan tugasnya dengan baik. Tidak ada niatan untuk menginspirasi mahasiswanya agar lebih mau mendalami materi yang diberikan.
Pendekatan model pendidikan untuk orang dewasa (andragogi) ditinggalkan. Proses yang terjadi hanya sekadar pendalaman materi secara lebih khusus sesuai dengan prodinya tanpa memperhatikan perubahan sikap dan mental anak didik terhadap ilmu dan keterampilan yang diajarkan.
Pendidikan tinggi sebagai lembaga formal terakhir yang menghubungkan sikap dan mental siap beradaptasi dengan dunia kerja dan kehidupan hanya mampu menyentuh kepada level pemberian ilmu pengetahuan, tanpa membekalinya dengan sikap mental tersebut. Keluhan yang bisa dipastikan muncul adalah mereka seolah menjadi tidak siap kerja.
Bayangkan, siapa yang akan mampu menghafal semua teori yang dijejalkan kepada anak didik jika mereka sendiri tidak memiliki sikap mental untuk memahami dan mengembangkannya sebagai pengetahuan dan keterampilan untuk hidup mereka.
Kampus kehilangan esensi kemerdekaan dan kemandirian dalam proses pembelajarannya.
Pandemi Covid-19
Dalam kondisi seperti itu, dunia pendidikan tinggi harus menghadapi kenyataan bahwa pertemuan- pertemuan klasikal dalam pembelajaran di kelas menjadi tidak bisa dilakukan karena serbuan badai Covid-19.
Banyak perguruan tinggi tidak siap menghadapinya, mereka sempat menghentikan kegiatan belajar mengajarnya karena ketiadaan infrastruktur yang dimiliki oleh lembaganya. Beberapa perguruan tinggi yang sebenarnya sudah memiliki infrastruktur pun sempat terguncang karena ternyata manusia- manusianya tidak siap untuk mengoperasikan fasilitas yang ada.
Dari gagap teknologi bahkan sampai phobia teknologi melingkupi dunia perguruan tinggi yang katanya melahirkan lulusan yang siap beradaptasi dengan kehidupan selanjutnya. Seolah ingat dengan tujuan menjadikan mahasiswa bisa mandiri belajar, maka banyak kegiatan belajar mengajar kemudian dialihkan hanya sekadar membagi bahan bacaan dan memberikan tugas.
Dosen dengan cepat mengalihkan proses interaktif di kelas dengan memberikan banyak tugas.
Mahasiswanya yang tidak siap, karena memang pertama tidak ada kebiasaan untuk secara mandiri membaca buku dan mengambil kesimpulan dari bahan bacaan yang ada, karena biasanya sudah disimpulkan oleh dosennya dalam pertemuan di kelas.
Kedua, karena tumpukan tugas dari dosen yang lebih seperti mengalihkan tugas dosen untuk mengajar menjadi pemberi tugas semata tanpa ada kesempatan nyata untuk berdialog atas hasil tugas tersebut. Akibatnya, tuntutan bahwa dosen tidak memberikan kuliah dan minimnya penggunaan fasilitas kampus berujung kepada permintaan turunnya pembayaran uang kuliah.
Mahasiswa merasa bahwa ilmu yang mereka dapatkan tidak diperoleh dari kampus mereka.
Setelah berjalan dua semester, beragam teknologi pembelajaran virtual sudah mulai banyak digunakan oleh banyak perguruan tinggi.
Ada beberapa klasifikasi penggunaan teknologi pembelajaran yang bisa dianalisis. Pertama, mereka yang hanya memanfaatkan teknologi video call untuk menggantikan pertemuan di kelas. Semua sistem pembelajarannya sebenarnya masih manual, yang tergantikan hanya pertemuan di kelas digantikan dengan pertemuan virtual. Susahnya, dalam pertemuan virtual tersebut, dengan alasan keterbatasan kuota atau buruknya infrastruktur, pertemuan menjadi hanya satu arah (monolog), bahkan dengan kondisi dosen juga tidak bisa memantau apakah mahasiswanya mendengarkan atau tidak.
Bisa dibayangkan dengan sikap mental anak didik akan keingintahuan belajar ilmu dan keterampilan yang disebutkan tadi, ditambah dengan sikap mental pendidik yang sekadar selesai menyampaikan materi, maka suara dosen dalam pertemuan virtual bisa saja hanya didengar oleh anak didik sambil melakukan aktivitas yang lain.
Kedua, ketika pembelajaran memanfaatkan teknologi pertemuan virtual digabungkan de
ngan interaktif di luar kelas melalui media sosial percakapan (WhatsApp, LINE, dst). Dalam hal ini kegiatan pembelajaran tidak lagi bersifat monolog saja tetapi sudah muncul kegiatan interaktif.
Hanya, dengan penggunaan dua atau tiga platform yang terpisah, meski membantu peserta didik untuk memahami materi tetapi sebenarnya sistem ini masih dikategorikan satu arah karena lebih mementingkan pemberian materi.
Evaluasi terhadap peningkatan kemampuan peserta didik agak susah dilakukan oleh pendidik. Terlebih dengan sikap mental yang hanya sekedar mendapatkan nilai baik, tetapi tidak disertai integritas peserta didik dalam mencapai nilai baik tersebut dan keterbatasan teknologi pendidikan yang diterapkan untuk menjamin integritas membuat tipe ini lemah dalam menjamin integritas dan kualitas pembelajaran.
Ketiga, digunakannya sistem dan teknologi pembelajaran yang lengkap, media pembelajaran pertemuan virtual yang interaktif, pencatatan kehadiran, pemuatan materi, penggunaan metode proctor serta pemeriksaan kemiripan (cek plagiarisme) ketika dilakukan evaluasi pembelajaran yang telah terintegrasi dalam sebuah sistem dari sejak perencanaan studi sampai pemberitahuan hasil studi menjadi tuntutan yang sudah harus dilakukan.
Dalam kategori inilah teknologi akan memaksa peserta didik untuk bisa belajar secara mandiri untuk membaca materi, mengerjakan tugas dan menjawab pertanyaan ujian karena pengawasan teknologi yang ketat.
Di sisi lain, teknologi ini juga memaksa dosen untuk memberikan materi dengan lebih baik dan benar, karena apa yang disampaikan tidak hanya terbatas pada tembok dinding kelas tetapi dimungkinkan didengar dan dilihat oleh lebih banyak orang.
Sekaligus juga memaksa pendidik untuk memperhatikan satu per satu peserta didik dalam melakukan evaluasi. Dengan demikian, akan mendorong proses pembelajarannya menjadikan peserta didik merdeka dalam memperoleh bahan materi tetapi sekaligus mandiri dalam mengerjakan seluruh proses belajarnya, tanpa harus kehilangan kualitas pendidikannya.
Harapannya, model pembelajaran dengan teknologi yang lengkap dan tepat guna akan membantu peserta didik untuk siap terhubung (bukan siap kerja seperti istilah yang digembargemborkan saat ini) ke kehidupan selanjutnya.
Catatan Akhir
Pemanfaatan teknologi pembelajaran yang benar akan lebih memerdekakan kampus daripada sekadar membuat mereka dimagangkan ke dunia industri tanpa dibekali terlebih dahulu dengan sikap mental yang tepat.
Teknologi pembelajaran yang lengkap akan membuat mahasiswa memiliki kemandirian mencari sumber-sumber referensi dan menggunakannya dalam pembelajarannya yang lebih mendalam.
Sekaligus, akan mendorong dosen juga lebih siap terhadap keragaman sumber referensi sehingga lebih bertanggung jawab terhadap materi yang disampaikan.
Kemandirian mencari dan menggunakan sumber referensi sekaligus juga menunjukkan kemerdekaan pembelajaran dengan tidak hanya mengandalkan sumber dari dosen.
Penggunaan teknologi pembelajaran yang tepat bahkan membuat mahasiswa maupun dosen untuk memiliki perubahan sikap mental terhadap ilmu pengetahuan yang didapat dan terutama penerapan dan pengembangannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini justru membuat lulusannya lebih siap beradaptasi dengan lingkungannya termasuk dunia usaha dan dunia industry yang akan digelutinya. Kenyataannya memang sudah terbukti, gaya hidup, cara berpikir dan bertindak diubahkan dengan adanya teknologi.
Pandemi ini di satu sisi juga mempercepat perubahan hidup, dan teknologi berkelindan untuk membentuk gaya, cara berpikir dan bertindak dalam kehidupan ini. Semestinya, gaya belajar, cara berpikir dan bertindak dalam pembelajaran juga bisa semakin dimerdekakan bukan justru merasa terkungkung oleh teknologi.(34)
— Suara Merdeka 7 Agustus 2021 hal. 4
https://www.suaramerdeka.com/opini/pr-04602567/memerdekakan-pendidikan?page=all