Oleh Andreas Lako
"Belum maksimalnya kinerja bisnis dan keuangan BJ disebabkan karena teknologi perbankannya masih kalah bersaing dengan bank-bank nasional yang beroperasi di Jateng"
PADA 6 April 2019 ini, Bank Jateng merayakan HUT yang ke-56. Menyambut HUT tersebut, masyarakat Jateng patut bangga dan memberi apresiasi khusus kepada jajaran manajemen dan karyawan bank milik pemerintah provinsi dan kabupaten/ kota se-Jateng ini atas sejumlah prestasi dan kontribusinya selama ini.
Dalam catatan saya, Bank Jateng telah membukukan banyak prestasi dan kontribusi yang patut diacungi jempol. Meski membukukan banyak prestasi, ada juga sejumlah permasalahan strategis yang patut mendapat perhatian serius dari pemilik dan manajemen Bank Jateng (BJ). Permasalahan tersebut adalah bagaimana melakukan transformasi korporasi secara fundamental untuk semakin mengoptimalkan peran dan kontribusi BJ ke depan.
Turut menyambut HUT tersebut, tulisan ini secara khusus memberi catatan kritis berkenaan dengan prestasi, permasalahan krusial dan strategi mengoptimalkan peran Bank Jateng. Berdasarkan hasil analisis saya, ada banyak prestasi dan kontribusi membanggakan yang telah ditorehkan BJ dalam beberapa tahun terakhir. Pertama, dari sisi keuangan, kinerja keuangan BJ terus meningkat selama 2013-2018. Laba Bersih meningkat dari Rp 705,04 miliar (2013) menjadi Rp 1,25 triliun (2018). Kedua, seiring dengan peningkatan kinerja keuangan, kontribusi ekonomi BJ dalam bentuk pajak dan pembagian dividen kepada pemegang saham (Pemprov Jateng dan pemkab/pemkot) juga terus meningkat.
Masalah Strategis
Meski kinerja keuangannya terus meningkat dan kontribusinya untuk pembangunan Jateng kian besar, saya mencermati peran dan kontribusi BJ sesungguhnya belumlah optimal. BJ belum sepenuhnya mampu mewujudkan visinya, yaitu menjadi bank terpecaya dan kebanggaan masyarakat. Mengapa?
Pertama, meskipun besaran nilai aset, ekuitas, pendapatan dan laba operasional terus meningkat, tren rasio return on equity atau ROE (laba bersih dibagi ekuitas) dan rasio return on asset atau ROA (laba bersih dibagi aset) malah terus menurun selama 2013-2018. ROE menurun dari 31,98 % (2013) menjadi 18,3% (2018). ROA menurun dari 3,01% (2013) menjadi 1,87% (2018). Meskipun dalam indikator perbankan besaran dua rasio profitabilitas tersebut termasuk bagus, tren penurunannya mengindikasikan ada problem serius dengan daya dukung aset BJ dalam mempertahankan dan menangkap potensi-potensi bisnis perbankan di Jateng. Selain itu, karena kesenjangan antara rasio ROE dan ROA sangat besar, patut juga diduga bahwa kecilnya nilai ekuitas dalam struktur aset BJ juga menjadi salah satu penyebab menurunnya tren rasio profitabilitas. Selama 2015-2018, equity to asset ratio (EAR) hanya berkisar 8,99% – 10,22%.
Hal ini mengindikasi bahwa dari nilai aset BJ yang mencapai Rp 66,85 triliun (2018), sebagian besar di antaranya (89,78%) berasal dari dana pihak ketiga (DPK) dan kreditur lain. Sementara, pemegang saham hanya memberi kontribusi Rp 6,83 triliun (10,22%). Dari jumlah tersebut, 53,29% dimiliki Pemprov Jateng, 37,31% dimiliki pemkab, dan 9,4% dimiliki oleh pemkot.
Dengan komposisi sumber pendanan aset seperti itu, pihak manajemen BJ tentu saja tidak bisa leluasa memanfaatkan dana dari pihak ketiga untuk kepentingan investasi dan operasional yang strategis. Karena selama ini pemilik juga selalu meminta dividen untuk mengurangi difisit APBD maka kemampuan modal kerja BJ untuk melakukan investasi dan ekspansi operasi bisnis juga melambat. Kedua, manajemen BJ menghadapi perubahan lingkungan bisnis yang dinamis dan bersifat disruptif. Perubahan tersebut berdampak negatif pada pelambatan laju kenaikan kinerja bisnis dan kinerja keuangan BJ.
Saya mencatat perubahan tersebut adalah terjadinya revolusi teknologi informasi perbankan yang sangat cepat sehingga berdampak pada operasi perbankan dan kepercayaan masyarakat. Selain itu, meningkatnya persaingan ketat antarkorporasi industri perbankan nasional yang sangat agresif dalam memperebutkan pangsa pasar dan potensi pasar di Jateng telah menggerus pasar BJ.
Mengoptimalkan
Berdasarkan uraian di atas, ada tiga permasalahan krusial dan strategis yang selama ini melilit Bank Jateng (BJ). Pertama, permasalahan operasional dan organisasi. Secara operasional, belum maksimalnya kinerja bisnis dan keuangan BJ disebabkan karena teknologi perbankannya masih kalah bersaing dengan bank-bank nasional yang beroperasi di Jateng, ketersediaan jaringan infrastruktur perbankannya masih sangat terbatas, dan ketersediaan jumlah SDM juga masih terbatas dan belum memadai kompetensinya. Kedua, permasalahan investasi dan dukungan aset organisasi yang terbatas. Sejumlah permasalahan operasional di atas berkorelasi erat dengan lemahnya daya dukung aset finansial dan investasi strategis BJ dalam teknologi, infrastruktur, dan SDM perbankan yang memadai.
Sehebat apa pun kemampuan manajemen dalam mengelola perusahaan, jika dukungan finansial dan aset strategis terbatas maka kinerja operasionalnya pasti tidak akan optimal. Ketiga, permasalahan pendanaan. Permasalahan operasional dan investasi strategis BJ sesungguhnya berkaitan erat dengan dukungan pendanaan dari ekuitas pemilik yang masih sangat terbatas. Seperti telah disebutkan di atas, kontribusi ekuitas dalam nilai aset BJ pada 2018 hanya 10,2%. Dengan nilai sebesar itu, kita sangat sulit mengharapkan kinerja dan kontribusi BJ akan kian optimal ke depan. Lalu, bagaimana solusinya?
Menurut hemat saya, Pemrov dan pemkab/pemkot se-Jateng sebaiknya segera meningkatkan lagi setoran modalnya dan mengurangi penarikan dividennya. Dengan cara ini, jumlah ekuitas pemerintah selaku pemilik akan meningkat.
Manajemen BJ juga akan lebih leluasa menggunakan dana segar itu untuk memperkuat investasi strategis dan meningkatkan kinerja operasional bank. Namun apabila pemerintah tidak berkenan dengan solusi di atas, maka manajemen BJ sebaiknya diperbolehkan melakukan go public di pasar modal. Meski costs dan risks-nya cukup besar, dengan opsi go public ini maka BJ akan mendapatkan suntikan dana segar yang besar untuk memperkuat investasi dan operasi bank.
BJ tentu akan dikelola lebih profesional lagi sesuai ketentuan otoritas pasar modal. Apabila opsi ini yang dipilih, maka penawaran saham perdana (IPO) BJ sebaiknya lebih diprioritaskan untuk masyarakat Jateng. Dengan mencermati potensi dan kinerja yang bagus selama ini, saya yakin harga saham BJ akan diharga tinggi. Namun apabila dua opsi di atas tidak disetujui, manajemen BJ dapat meminta persetujuan pemilik agar manajemen bisa menjual obligasi BJ kepada kreditur atau melakukan aliansi strategis dengan sejumlah mitra strategis untuk mendapatkan pendanaan segar. Karena semua opsi di atas memiliki untungrugi, maka keputusan memilih salah satu opsi pendanaan sebaiknya didasarkan pada musyawarahmufakat bersama. Para pemegang saham dan manajemen perlu visioner dalam memilih opsi pendanaan untuk melakukan transformasi BJ. Visinya adalah semakin mengoptimalkan peran dan kontribusi Bank Jateng ke depan. (40)
_______________
Andreas Lako
Guru Besar Akuntansi,
Ketua Program Doktor Ilmu Lingkungan
Unika Soegijapranata Semarang.
►Suara Merdeka 6 April 2019 hal. 6, https://www.suaramerdeka.com/smcetak