Dari angka pertumbuhan itu, kinerja pertumbuhan ekonomi Jateng dalam empat tahun terakhir sesungguhnya tidaklah buruk. Bahkan, kalau dibandingkan dengan tren pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,01 % (2014), 4,88% (2015), 5,02% (2016), dan 5,01 % (Juni 2017), tren pertumbuhan ekonomi Jateng selama 2014-2017 jauh lebih baik.
PADA23 Agustus 2017 lalu, Ganjar Pranowo dan Heru Sudjatmoko genap empat tahun memimpin Provinsi Jateng sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur. Dalam beberapa seminar dan diskusi, muncul pernyataan bahwa kinerja pembangunan Jateng di bawah kepemimpinan mereka memburuk, bahkan dianggap gagal membawa ke arah lebih maju dan sejahtera.
Banyak indikator kinerja pembangunan dalam RPJMD 2013-2018 tidak tercapai. Janji-janji dalam kampanye mereka pada 2013 juga dinilai banyak yang tidak terealisasi. Benarkah kinerja pembangunan Jateng di bawah kepemimpinan Ganjar-Heru memburuk?
Untuk membuktikan, saya menganalisis tren kinerja pembangunan Jateng selama periode 2010-Agustus 2017. Juga, mengananalisis Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Gubernur Jateng Akhir Tahun Anggaran kepada DPRD selama 2014-2016. Hasil analisis menunjukkan kinerja pembangunan Jateng empat tahun terakhir justru menunjukkan tren meningkat.
Demikian pula hasil analisis terhadap LKPJ 2013-2016, kinerjanya bagus. Jadi, penilaian buruk dari berbagai pihak terhadap kinerja Ganjar-Heru berlebihan. Secara umum, ada beberapa indikator utama ekonomi yang sering digunakan dalam menilai tingkat keberhasilan atau kegagalan suatu rezim pemerintahan daerah pada suatu periode dalam pelaksanaan pembangunan.
Indikator itu adalah pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan nilai produk domestik regional bruto (PDRB) serta dampaknya terhadap penurunan kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan sosial ekonomi. Dari sisi pertumbuhan ekonomi, tren kinerja pertumbuhan ekonomi Jateng 2012-2013 memang menurun. Pertumbuhan yang pada 2011 tercatat 6,01% turun menjadi 5,34% (2012) dan 5,11% (2013).
Namun, 2014 dan 2015, tren pertumbuhan naik menjadi 5,27?n 5,47%. Pada 2016, akibat kebijakan rasionalisasi APBD, pertumbuhan turun menjadi 5,28%. Hingga akhir Agustus 2017, pertumbuhan Jateng diestimasi 5,3%. Dari angka pertumbuhan itu, kinerja pertumbuhan ekonomi Jateng dalam empat tahun terakhir sesungguhnya tidaklah buruk.
Bahkan, kalau dibandingkan dengan tren pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,01% (2014), 4,88% (2015), 5,02% (2016), dan 5,01% (Juni 2017), tren pertumbuhan ekonomi Jateng selama 2014-2017 jauh lebih baik. Dari sisi nilai PDRB, yaitu indikator pengukuran kinerja aktivitas perekonomian dan nilai ekonomi seluruh sektor usaha di suatu daerah, berdasarkan harga berlaku 2012-2016 meningkat pesat.
Nilai PDRB pada 2012 Rp 754,53 triliun naik menjadi Rp 830,16 triliun (2013), Rp 922,47 triliun (2014), Rp 1.011,85 triliun (2015), dan Rp 1.092,03 triliun (2016). Pada akhir 2017, nilai PDRB diestimasi bisa Rp 1.200-an triliun. Apabila menggunakan harga konstan 2010, nilainya melonjak, yaitu dari Rp 393 triliun (2009) hingga Rp 556 triliun (2012) selama pemerintahan gubernur-wakil gubernur sebelumnya menjadi Rp 726 triliun (2013) hingga Rp 849 triliun (2016) selama pemerintahan Ganjar-Heru.
Berdasarkan capaian pertumbuhan ekonomi dan nilai PDRB itu, kinerja perekonomian Jateng empat tahun terakhir sesungguhnya bagus. Kita patut mengapresiasi pencapaian itu karena beberapa provinsi di Jawa lebih rendah kinerjanya. Pertanyaannya, apa dampaknya terhadap kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan sosial ekonomi?
Dampak Postif
Hasil analis menunjukkan peningkatan aktivitas perekonomian Jateng selama 2013-2017 berdampak positif pada indikator tersebut. Jumlah penduduk miskin terus menurun dari 4,95 juta orang (2012) menjadi 4,81 juta orang (2013), 4,56 juta orang (2014), 4,5 juta orang (2015), dan 4,49 juta orang (2016). Maret 2017, turun lagi menjadi 4,45 juta orang. Secara persentase, tren penduduk miskin terus menurun dari 14,98% (2012) menjadi 13,01% (Maret 2017).
Pertumbuhan ekonomi di atas 5% juga berdampak positif pada penurunan jumlah pengangguran. Meskipun angkatan kerja terus meningkat, jumlah penganggur terus turun. Pada Agustus 2013, jumlah penganggur masih 1,05 juta orang, namun Agustus 2016 turun menjadi 801,3 ribu orang. Februari 2017, turun lagi menjadi 755,5 ribu orang.
Peningkatan aktivitas ekonomi dalam empat tahun terakhir juga berdampak positif pada penurunan kesenjangan sosial ekonomi. Kesenjangan pendapatan antarkelompok masyarakat yang diukur dengan rasio gini terus meningkat dari 0,31 (2009) menjadi 0,387 (2013) selama pemerintahan sebelumnya, mulai 2014 turun menjadi 0,376 dan 0,366 pada 2016.
Pada 2017, rasio gini Jateng diperkirakan di bawah 0,36. Penurunan rasio gini menunjukkan arah kebijakan dan pelaksanaan pembangunan di Jateng dalam tiga empat tahun terakhir, terutama pembangunan inftrastruktur dan ekonomi kerakyatan, telah mengarah pada jalur yang benar, yaitu berkeadilan sosial. Patut dicatat, hasil pembangunan infrastruktur yang mulai digalakkan Ganjar-Heru sejak 2014-2015, selain menurunkan kesenjangan sosial ekonomi, berdampak positif menurunkan kesenjangan antarwilayah.
Hal itu bisa dicermati pada penurunan indeks Williamson dari 0,64 (2012) menjadi 0,62 (2016). Meski indeks Williamson Jateng masih tergolong tinggi, penurunan itu pantas disyukuri. Alasannya, sangat sulit bagi suatu provinsi menurunkan kesenjangan antarwilayah apabila tidak dikelola oleh seorang gubernur-wakil gubernur yang kapabel.
Hasil analisis terhadap LKPJ Gubernur Jateng Akhir Tahun Anggaran kepada DPRD selama 2014-2016 juga menunjukkan kinerja kepemimpinan Ganjar- Heru yang bagus. Pada 2014, pencapaian target kinerja pembangunan mencapai 87,65%. Pada 2015, dari 455 target indikator kinerja pembangunan, 88,13% tercapai; sedangkan 2016 dari 432 indikator kinerja, 379 atau 87,73% mencapai target.
—Andreas Lako,Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unika Soegijapranata Semarang
(Suara Merdeka 27 September 2017, http://www.suaramerdeka.com)