Sebagai sebuah negara demokratis, Indonesia sudah memasuki babak baru. Pemilu Presiden tahun 2019, seperti seperti Pemilu Presiden sebelumnya, diawali dengan debat pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. Tujuan debat adalah untuk mengekspresikan gagasan atau pemikiran calon presiden dan calon wakil presiden kalau nantinya mereka terpilih untuk memimpin Indonesia selama lima tahun mendatang. Disamping itu, melalui debat tersebut, capres dan cawapres ingin meyakinkan seluruh rakyat bahwa pasangannyalah yang paling baik untuk memimpin Indonesia. Adu gagasan dan argumentasi dalam debat pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden tidak terelakkan lagi. Masing-masing pasangan ingin menunjukkan kepada seluruh rakyat bahwa merekalah yang terbaik.
Mencermati debat pertama, kedua pasangan tidak selalu bisa mengontrol apa yang mereka ucapkan selama debat. Keinginan untuk menunjukkan bahwa mereka adalah yang terbaik dan merupakan pilihan yang tepat bagi rakyat bisa berisiko. Kalau tidak hati-hati, masing-masing paslon, terutama calon presiden, bisa menggunakan bahasa yang berlebihan dan emosional yang berkonotasi negatif. Sekalipun paslon presiden dan wakil presiden sudah mempersiapkan diri dengan baik dan boleh jadi dilatih oleh para pakar dalam bidang hukum, HAM, ekonomi, sosial budaya dan segala topik yang menyangkut kehidupan rakyat banyak, seringkali paslon belum bisa menjelaskan dengan baik poin-poin penting kebijakan yang mereka usulkan dan mengontrol apa yang mereka ucapkan saat debat. Keinginan yang kuat untuk menunjukkan bahwa mereka adalah yang terbaik justru bisa menjadi pemicu untuk menggunakan bahasa yang berlebihan dan memicu emosi.
Fungsi Bahasa
Fungsi bahasa dalam politik salah satunya adalah untuk persuasi, baik persuasi melalui logika maupun persuasi melalui emosi. Persuasi melalui logika tujuannya untuk mengubah atau meyakinkan pendapat secara logis sedangkan persuasi melalui emosi tentu saja tujuannya untuk mendapatkan simpati dan empati para pemirsa (Partington & Taylor, 2018). Dengan demikian, pemilihan kata merupakan hal yang penting diperhatikan dalam debat paslon presiden dan wakil presiden karena bahasa mampu mempengaruhi kesan pemirsa. Para paslonberusaha sekuat mungkin untuk menarik simpati dan meyakinkan pemirsa bahwa apa yang mereka katakan itu penting. Namun demikian, hal ini bisa menjadi bumerang jika mereka tidak hati-hati atau malah terpancing paslon lainnya.
Pemirsa atau rakyat sebenarnya lebih mementingkan diskusi yang cerdas yang menekankan pada pemaparan kebijakan yang segar dan baru dan tidak menginginkan bahasa yang berlebihan atau mendengarkan kata-kata yang menunjukkan emosi yang berlebihan. Kedua paslon perlu memikirkan hal ini dengan serius. Mereka tidak boleh terpancing oleh pernyataan, komentar, atau pertanyaan lawan. Kalau mereka terpengaruh, mereka akan gagal fokus dan dampaknya pemirsa atau rakyat tidak akan memberikan simpati melainkan bisa antipati. Bagi rakyat, yang diperlukan adalah sosok pemimpin yang mampu memberikan penjelasan mengenai kebijakan dan isu penting, yang berhati-hati dalam bertutur-kata, dan mampu melaksanakan apa yang diucapkan ketika dia sudah menjadi pemimpin. Kalau dalam perdebatan mereka sudah berlebihan dan emosional, dikhawatirkan rakyat akan skeptis terhadap mereka.
Di samping itu, penggunaan bahasa yang berlebihan dan kata-kata yang berkonotasi negatif bisa diinterpretasikan bahwa calon tersebut tidak memiliki ide yang substantif namun cenderung menyerang lawan bicara saja.Kedua calon presiden dan pasangannya masih akan melakukan empat kali lagi debat. Mereka bisa belajar banyak dari debat pertama yang menurut sebagian pakar belum memperlihatkan esensi.
Solusi
Solusi terbaik bagi kedua paslon presiden dan wakilnya adalah mereka harus stay cool, tidak terpancing oleh lawannya. Dengan tetap bersikap tenang, mereka akan menyampaikan gagasan dengan baik dan runtut. Disamping itu, apa yang mereka ungkapkan tetap rasional. Seorang calon presiden tidak perlu berjanji muluk-muluk yang tidak rasional terhadap rakyat. Melihat kenyataan yang ada sekarang dan berbagai kemungkinan yang akan datang, seorang calon presiden harus mampu meyakinkan rakyat bahwa mereka akan melakukan yang terbaik untuk negara dan bangsa ini. Untuk bisa rasional, dalam debat yang masih akan berlangsung empat kali lagi, kedua calon presiden tidak boleh emosional. Baik Jokowi maupun Prabowo harus belajar dari debat pertama: kapan atau pada bagian mana mereka emosional, tidak rasional, berlebihan, dan tidak fokus. Kalau mereka berdua beserta pasangannya belajar dengan baik dari debat pertama, pada debat kedua dan seterusnya hingga sebelum hari H itu datang, kita seluruh rakyat akan mendengarkan adu gagasan dan argumentasi yang berbobot dari kedua calon presiden. Bukan saatnya lagi calon pemimpin Indonesia hanya pandai berretorika. Kita butuh pemimpin yang bisa memberikan solusi permasalahan di Indonesia dengan dewasa dan rasional.
____________
Cecilia Titiek Murniati, Ph.D – Dosen Fakultas Bahasa dan Seni, Wakil Rektor Bidang Akademik Universitas Katolik Soegijapranata