Oleh : MG Westri Kekalih Susilowati, Dosen Unika Soegijapranata
PEMERINTAH meluncurkan berbagai kebijakan guna mencegah rantai penyebaran pandemi Covid-19, seperti Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), pengurangan jam buka toko/warung dan lain-lain. Kebijakan ini menyebabkan daya beli masyarakat sehingga konsumsi Rumah Tangga (RT) dan konsumsi Lembaga Non Profit yang melayani Rumah Tangga (LNPRT) turun. Dalam struktur Produk Domestik Bruto (PDB) menurut pengeluaran, kontribusi pengeluaran konsumsi berkontribusi sangat besar dalam pembentukan PDB, yakni mencapai 54,52 persen. Kebersamaan, kolaborasi oleh berbagai pihak dalam penanggulangan penyebaran Covid-19 dengan berbagai dampaknya telah membuahkan hasil. Dapat kita lihat bagaimana pemerintahan di semua negara, baik negara maju maupun berkembang mengucurkan stimulus fiskal dan non fiskal dalam jumlah besar ke dalam perekonomian untuk mempertahankan perekonomian. Terkait dengan perekonomian, telah terdapat peningkatan kembali aktivitas ekonomi secara global dengan semakin terbukanya kembali lalu lintas antar negara. Maka, tahun 2022 memang diprediksi menjadi momentum pemulihan ekonomi dunia pasca pandemi Covid-19. Namun, momentum tersebut mengandung ketidakpastian, di antaranya adalah inflasi baik pada sisi permintaan maupun penawaran.
Pada sisi permintaan, adanya peningkatan jenis-jenis pengeluaran agregat, yakni pengeluraan konsumsi rumah tangga, investasi, pengeluaran pemerintah, dan pengeluaran luar negeri atau ekspor neto yang semakin kuat akan menarik harga ke atas. Inflasi yang disebabkan karena menguatnya permintaan ini disebut dengan demand pull inflation. Seiring dengan meredanya Covid-19 yang dikuti dengan semakin longgarnya pemberlakukan pembatasan aktivitas masyarakat (PPKM) mendorong peningkatan permintaan agregat, baik pada komponen konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah maupun ekspor-impor, dan konsumsi masyarakat.
Data BPS menunjukkan bahwa secara kumulatif pertumbuhan ekonomi Indonesia sampai dengan Triwulan-I tahun 2022 (yoy) tercatat 5,01 persen yang terdiri dari pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumah tangga sebesar 2,35 persen, pengeluaran konsumsi LNRT sebesar 0,07 persen, pengeluaran pemerintah -0,47 persen, ekspor barang dan jasa sebesar 3,55 persen, dam impor barang dan jasa sebesar 2,72 persen.
Pada sisi penawaran, Covid-19 menimbulkan berbagai masalah sosial sebagai efek domino dari pengaruhnya terhadap masalah kesehatan. Sisi penawaran perekonomian terkontraksi karena adanya penurunan produktivitas pekerja/buruh, penurunan investasi dan kegiatan pendanaan, serta terganggunya rantai pasokan global (global value chain). Terganggunya mobilitas sumber daya bahan baku menyebabkan sulitnya memperoleh bahan baku. Secara bersama-sama hal ini akan menyebabkan kenaikan harga umum atau inflasi. Inflasi karena dorongan biaya ini disebut dengan cost push inflation. Penyesuaian tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 11 persen yang berlaku sejak bulan April 2022 menyebabkan harga yang dibayarkan oleh konsumen naik. Pada saat yang sama, yakni pada tanggal 1 April 2022 pemerintah juga telah memutuskan untuk menaikkan harga Bahan bakar Minyak (BBM) untuk kategori Pertamax, yakni dari Rp 9.000,00 per liter menjadi Rp 12.500,00 per liter. Secara bersama-sama kedua kebijakan ini berkontribusi terhadap inflasi pada bulan-bulan berikutnya. Inflasi yang terjadi karena dorongan biaya bukan merupakan inflasi yang diharapkan karena dapat menyebabkan stagflasi. Indonesia juga dibayangi dengan inflasi karena kenaikan barang-barang impor atau imported inflation dipicu oleh ketegangan geopolitik, yakni perang antara Rusia dengan Ukraina. Jenis barang yang terutama atalah komoditas pangan dan energi.
Bank Indonesia (BI) memproyeksikan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2022 akan meningkat dari tahun 2021, yakni pada kisaran mencapai 4,7-5,5 persen. Pertumbuhan ekonomi tahun 2021 telah terdongkrak sebesar 3,69 persen (yoy) setelah terkontraksi akibat pandemi Covid-19 yang tercatat sebesar -2,0 persen. Untuk menjaga mometum pemulihan ekonomi, pemerintah perlu mendorong keterlibatan dunia usaha dengan merealisasikan investasi. Kemudahan perijinan investasi, iklim investasi yang kondusif saja tidak cukup. Perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam pada tingkat daerah, terutama mengenai faktor-faktor yang mampu mendorong investor untuk segera merealisasikan investasinya.
#https://radarsemarang.jawapos.com/artikel/2022/07/29/menjaga-momentum-pemulihan-ekonomi-nasional-2022/